aku merasa terlahir kembali. akan aku coba apapun yang terbaik untukku dan hidupku sebab hidup hanya sekali bukan? tidak lebih dan waktu kitapun hanya 24 jam sehari, tidak lebih. jika orang lain mampu melakukan hal yang baik untuknya kenapa aku tidak bisa?
sudah banyak tuhan memberi aku kelebihan, rasanya rugi bukan bila kita tidak mencoba meraih yang terbaik dan termulia hidup di bumi dan disyurga. insyaalloh. tuhan telah berbaik hati kepadaku sehingga akupun perlu berbaik-baik terhadap tuhanku.di hari ini....tahun yang lalu aku muncul didunia dengan segudang kelebihan dan samudra kekurangan namun aku tau pasti aku akan menperoleh hal yang terbaik atas ijinNya.
Kamis, 12 Agustus 2010
UN BUTUH PENGAWAS YANG ‘AWAS’
Hajatan besar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) segera digelar.di bulan Maret 2010 ini. Di tingkat SMA/MA hajatan itu dilaksanakan tanggal 22-26 Maret 2010 dan untuk tingkat SMP/MTs akan digelar pada tanggal 29 Maret-1 April 2010. Hajatan yang berupa Ujian Nasional (UN) merupakan agenda tahunan bagi Depdiknas. Meskipun merupakan acara tahunan namun Depdiknas selalu memandang istimewa UN sehingga sarana-prasarana jauh-jauh hari mulai dipersiapkan. Dari tingkat pusat sampai daerah mulai bekerja keras demi terlaksana UN dengan baik dan lancar. Dari berbagai persiapan kelancaran UN tersebut, yang tak kalah pentingnya adalah menyiapkan para petugas yang mengawasi jalannya UN.
Disadari atau tidak, pengawas adalah salah satu komponen yang penting dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan UN. Pengawas, ibarat sebuah pisau yang dapat digunakan untuk memotong sesuatu. Melalui pengawasan pengawaslah dapat terkuak kecurangan yang dilakukan oleh peserta didik maupun panitia UN. Walaupun ada Tim Pemantau Independen (TPI), namun peran pengawas sangat signifikan dalam meminimalisir kecurangan. Mata pengawas yang “awas” (baca:jeli) akan dapat mendeteksi indikasi kecurangan yang ada. Oleh karena itu, pengawas UN perlu jeli dan waspada terhadap perilaku peserta tes (testee) yang tidak biasa seperti sering melihat ke bawah meja, membawa HP waktu tes, sering kebelakang dan lain-lain. Pengawas yang tidak jeli dapat memberikan kesempatan kepada para peserta tes maupun panitia UN sekolah untuk melakukan tindak kecurangan.
Kejelian pengawas dengan selalu melaksanakan tugas dengan baik membuat para peserta tes akan dapat bekerja mandiri dan percaya diri, di samping panitia UN sekolah segan terhadapnya. Namun bagaimanapun, pengawas juga jangan terlalu kaku dan pasang wajah angker yang akan membuat para peserta didik tidak simpatik dan jengkel. Alangkah baiknya, jika para pengawas tetap berwajah bersahabat dan kooperatif tanpa melupakan tugas pokoknya yaitu pengawasan.
Kejelian para pengawas juga telah berperan dalam penentuan tingkat kejujuran sebuah kota. Kita patut bersyukur bahwa kota Yogyakarta termasuk daerah hijau dalam pelaksanaan UN. Itu artinya kejujuran UN di kota Yogyakarta sangat tinggi. Kejujuran dalam melaksanakan UN akan berkorelasi dengan hasil UN para peserta tes, sehingga hasil tes dapat dikatakan accountable. Berbeda dengan daerah lain yang menjadi zona merah yaitu daerah dengan tingkat kejujuran pelaksanaan UN yang rendah. Kalau tingkat kejujuran UN rendah, apakah kita dapat yakin bahwa nilai yang didapat para peserta tes itu murni hasil berpikirnya?
Seperti tahun-tahun sebelumnya, UN diawasi oleh para guru non-mata pelajaran yang di UN-kan. Hal ini sangat baik sebab guru non-UN sebagai pengawas, tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk membantu para peserta tes dalam menjawab soal-soal tes walaupun dia mempunyai niat. Bayangkan kalau yang mengawasi guru mata pelajaran Ujian Nasional (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA), tentu ada potensi guru tersebut untuk membantu peserta didik sebab guru mata pelajaran UN mempunyai kemampuan untuk melakukan hal itu jika ia mempunyai niat. Penulis berharap bahwa para pengawas dapat melaksanakan tugasnya dengan idealisme yang tinggi yaitu mensukseskan UN tahun 2010 ini. Idealisme yang tinggi dan kejelian para pengawas akan meredam berbagai kecurangan UN yang semakin inovatif dan variatif saja. Oleh karena itu, di pundak para pengawas yang ‘awas’, kita dapat berharap bahwa zona hijau UN akan semakin banyak di Indonesia sehingga kita dapat berbangga dengan hasil nilai UN anak-anak kita
Disadari atau tidak, pengawas adalah salah satu komponen yang penting dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan UN. Pengawas, ibarat sebuah pisau yang dapat digunakan untuk memotong sesuatu. Melalui pengawasan pengawaslah dapat terkuak kecurangan yang dilakukan oleh peserta didik maupun panitia UN. Walaupun ada Tim Pemantau Independen (TPI), namun peran pengawas sangat signifikan dalam meminimalisir kecurangan. Mata pengawas yang “awas” (baca:jeli) akan dapat mendeteksi indikasi kecurangan yang ada. Oleh karena itu, pengawas UN perlu jeli dan waspada terhadap perilaku peserta tes (testee) yang tidak biasa seperti sering melihat ke bawah meja, membawa HP waktu tes, sering kebelakang dan lain-lain. Pengawas yang tidak jeli dapat memberikan kesempatan kepada para peserta tes maupun panitia UN sekolah untuk melakukan tindak kecurangan.
Kejelian pengawas dengan selalu melaksanakan tugas dengan baik membuat para peserta tes akan dapat bekerja mandiri dan percaya diri, di samping panitia UN sekolah segan terhadapnya. Namun bagaimanapun, pengawas juga jangan terlalu kaku dan pasang wajah angker yang akan membuat para peserta didik tidak simpatik dan jengkel. Alangkah baiknya, jika para pengawas tetap berwajah bersahabat dan kooperatif tanpa melupakan tugas pokoknya yaitu pengawasan.
Kejelian para pengawas juga telah berperan dalam penentuan tingkat kejujuran sebuah kota. Kita patut bersyukur bahwa kota Yogyakarta termasuk daerah hijau dalam pelaksanaan UN. Itu artinya kejujuran UN di kota Yogyakarta sangat tinggi. Kejujuran dalam melaksanakan UN akan berkorelasi dengan hasil UN para peserta tes, sehingga hasil tes dapat dikatakan accountable. Berbeda dengan daerah lain yang menjadi zona merah yaitu daerah dengan tingkat kejujuran pelaksanaan UN yang rendah. Kalau tingkat kejujuran UN rendah, apakah kita dapat yakin bahwa nilai yang didapat para peserta tes itu murni hasil berpikirnya?
Seperti tahun-tahun sebelumnya, UN diawasi oleh para guru non-mata pelajaran yang di UN-kan. Hal ini sangat baik sebab guru non-UN sebagai pengawas, tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk membantu para peserta tes dalam menjawab soal-soal tes walaupun dia mempunyai niat. Bayangkan kalau yang mengawasi guru mata pelajaran Ujian Nasional (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA), tentu ada potensi guru tersebut untuk membantu peserta didik sebab guru mata pelajaran UN mempunyai kemampuan untuk melakukan hal itu jika ia mempunyai niat. Penulis berharap bahwa para pengawas dapat melaksanakan tugasnya dengan idealisme yang tinggi yaitu mensukseskan UN tahun 2010 ini. Idealisme yang tinggi dan kejelian para pengawas akan meredam berbagai kecurangan UN yang semakin inovatif dan variatif saja. Oleh karena itu, di pundak para pengawas yang ‘awas’, kita dapat berharap bahwa zona hijau UN akan semakin banyak di Indonesia sehingga kita dapat berbangga dengan hasil nilai UN anak-anak kita
GURU PEMIMPI
Para siswa berhamburan, ketika saya datang pagi itu. Mereka berebut bersalaman dan mencium tangan saya. Ada juga yang berinisiatif membawakan tas saya. “Sekarang jam pertama, pelajaran apa?” saya bertanya kepada salah satu siswa. “ Sak meniko, pelajaran boso Jawi, pak”, jawabnya dengan bahasa Jawa yang sangat halus. Ternyata, para siswa masih fasih berbahasa Jawa, pikir saya.
Sampai di ruang guru, saya melihat tas saya sudah ditaruh dengan baik. Segera saya mempersiapkan buku dan perangkat pembelajaran untuk mengawali pelajaran. “Yah…yah bangun, sudah pagi!”, kata istriku sambil mencoba membangunkan. Oh …rupanya aku tadi bermimpi. Betapa menyejukkan mimpiku itu. Para siswa begitu sopan dan mempunyai unggah-ungguh terhadap bapak-ibu guru mereka. Di samping itu, mereka masih bisa berbahasa daerah yang baik, sehingga anak Jawa tidak kehilangan Jawanya. Tidak berlebihan bila suatu saat kita tidak mengantisipasinya maka bahasa Jawa menjadi punah dan hanya menjadi catatan sejarah seperti bahasa Sansekerta.
Sekarang ini, banyak anak yang lupa dengan bahasa Jawa yang halus dan mereka juga lupa dengan tata-krama, khususnya terhadap orang yang lebih tua. Malah, kadang mereka tidak sopan dengan bapak-ibu guru dan berbicara seperti dengan temannya sendiri. Siapa yang salah ini, kita sebagai guru atau kita sebagai orang tua? Ataukah karena bahasa Jawa, PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), Pendidikan Agama dan Bimbingan Konseling hanya 2 jam pelajaran/minggu, sehingga bapak ibu guru berkurang waktunya untuk bertatap muka dan memantau perkembangan siswa? Sedangkan mata pelajaran bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Indonesia, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) diberi 5 jam pelajaran/minggu, yang membuat para siswa lebih mampu dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan keempat mata pelajaran tersebut.
“Pak, ini sekedar untuk bapak”, kata salah satu orang tua siswa. “Matur nuwun sanget nggih pak, awit saking bimbingan bapak, lare kulo miturut dumateng tiyang sepuhipun lan taat ngibadahipun” kata bapak itu dengan bahasa Jawa yang halus. Pantas anak-anak pintar bahasa Jawa halus sebab orang tuanya juga dapat menggunakan bahasa Jawa dengan baik. “ Lho, bapak tidak bangga kalau anak bapak juara kelas?” tanya saya penasaran. “Pak, juara atau tidak, tidak penting bagi saya, saya hanya mengharapkan anak saya dapat berbakti kepada orang tua dan bertaqwa kepada Tuhan yang Esa”, jawabnya percaya diri. “ Saya, orang tidak punya pak, juara kan hanya soal nilai, nilai hanya bersifat kepintaran otak pak, namun yang lebih penting budi pekerti dan agama yang baik, pak” bapak tadi melanjutkan perkataannya. Benar juga bapak ini, penelitian telah membuktikan bahwa kecerdasaan otak hanya menyumbang 10% terhadap kesuksesan seseorang.
Di jaman modern ini masih ada orang yang tidak mementingkan kemampuan kognitif anaknya. Dia lebih mengharapkan anaknya mempunyai kemampuan afektif yang berhubungan dengan kecerdasaan spiritual dan kecerdasan emosional. Seandainya, semua orang tua seperti bapak itu, pasti ujian bukanlah momok yang menakutkan. Kadang ketakutan itu menyebabkan seseorang rela berbuat apa saja demi sebuah angka, sehingga tujuan utama dilakukan ujian tidak relevan lagi. Pada hakekatnya, fungsi pendidikan membentuk peserta didik kearah tujuan pendidikan yang tidak boleh hanya mengutamakan prestasinya, tetapi harus mengutamakan kebutuhan pembentukan kepribadiannya sebagai individu yang nyata.
“Yah, bangun yah!’, kata istriku. “ Katanya hari ini upacara” katanya lagi. O..iya ini tanggal 1 Suro, upacara hari bahasa Jawa. Upacara yang unik, semua serba bahasa Jawa, para guru menggunakan pakaian Jawa dan semua protokoler juga menggunakan bahasa Jawa. Semua demi pelestarian nilai-nilai budaya Jawa termasuk bahasa Jawa dan budi pekerti Jawa. “ Ayo…bangun, mimpi terus”, kata istriku lagi. Tapi bukankah sejarah mencatat semua hal yang hebat, dimulai dari sebuah mimpi yang dapat menjadi kenyataan. Leres nggih?
Sampai di ruang guru, saya melihat tas saya sudah ditaruh dengan baik. Segera saya mempersiapkan buku dan perangkat pembelajaran untuk mengawali pelajaran. “Yah…yah bangun, sudah pagi!”, kata istriku sambil mencoba membangunkan. Oh …rupanya aku tadi bermimpi. Betapa menyejukkan mimpiku itu. Para siswa begitu sopan dan mempunyai unggah-ungguh terhadap bapak-ibu guru mereka. Di samping itu, mereka masih bisa berbahasa daerah yang baik, sehingga anak Jawa tidak kehilangan Jawanya. Tidak berlebihan bila suatu saat kita tidak mengantisipasinya maka bahasa Jawa menjadi punah dan hanya menjadi catatan sejarah seperti bahasa Sansekerta.
Sekarang ini, banyak anak yang lupa dengan bahasa Jawa yang halus dan mereka juga lupa dengan tata-krama, khususnya terhadap orang yang lebih tua. Malah, kadang mereka tidak sopan dengan bapak-ibu guru dan berbicara seperti dengan temannya sendiri. Siapa yang salah ini, kita sebagai guru atau kita sebagai orang tua? Ataukah karena bahasa Jawa, PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), Pendidikan Agama dan Bimbingan Konseling hanya 2 jam pelajaran/minggu, sehingga bapak ibu guru berkurang waktunya untuk bertatap muka dan memantau perkembangan siswa? Sedangkan mata pelajaran bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Indonesia, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) diberi 5 jam pelajaran/minggu, yang membuat para siswa lebih mampu dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan keempat mata pelajaran tersebut.
“Pak, ini sekedar untuk bapak”, kata salah satu orang tua siswa. “Matur nuwun sanget nggih pak, awit saking bimbingan bapak, lare kulo miturut dumateng tiyang sepuhipun lan taat ngibadahipun” kata bapak itu dengan bahasa Jawa yang halus. Pantas anak-anak pintar bahasa Jawa halus sebab orang tuanya juga dapat menggunakan bahasa Jawa dengan baik. “ Lho, bapak tidak bangga kalau anak bapak juara kelas?” tanya saya penasaran. “Pak, juara atau tidak, tidak penting bagi saya, saya hanya mengharapkan anak saya dapat berbakti kepada orang tua dan bertaqwa kepada Tuhan yang Esa”, jawabnya percaya diri. “ Saya, orang tidak punya pak, juara kan hanya soal nilai, nilai hanya bersifat kepintaran otak pak, namun yang lebih penting budi pekerti dan agama yang baik, pak” bapak tadi melanjutkan perkataannya. Benar juga bapak ini, penelitian telah membuktikan bahwa kecerdasaan otak hanya menyumbang 10% terhadap kesuksesan seseorang.
Di jaman modern ini masih ada orang yang tidak mementingkan kemampuan kognitif anaknya. Dia lebih mengharapkan anaknya mempunyai kemampuan afektif yang berhubungan dengan kecerdasaan spiritual dan kecerdasan emosional. Seandainya, semua orang tua seperti bapak itu, pasti ujian bukanlah momok yang menakutkan. Kadang ketakutan itu menyebabkan seseorang rela berbuat apa saja demi sebuah angka, sehingga tujuan utama dilakukan ujian tidak relevan lagi. Pada hakekatnya, fungsi pendidikan membentuk peserta didik kearah tujuan pendidikan yang tidak boleh hanya mengutamakan prestasinya, tetapi harus mengutamakan kebutuhan pembentukan kepribadiannya sebagai individu yang nyata.
“Yah, bangun yah!’, kata istriku. “ Katanya hari ini upacara” katanya lagi. O..iya ini tanggal 1 Suro, upacara hari bahasa Jawa. Upacara yang unik, semua serba bahasa Jawa, para guru menggunakan pakaian Jawa dan semua protokoler juga menggunakan bahasa Jawa. Semua demi pelestarian nilai-nilai budaya Jawa termasuk bahasa Jawa dan budi pekerti Jawa. “ Ayo…bangun, mimpi terus”, kata istriku lagi. Tapi bukankah sejarah mencatat semua hal yang hebat, dimulai dari sebuah mimpi yang dapat menjadi kenyataan. Leres nggih?
Ilmu Bencana Alam perlu masuk Kurikulum
Kalau benar apa yang dikatakan para pakar bahwa Indonesia rawan bencana alam,maka perlu dipikirkan oleh pemerintah untuk mengantisipasi hal tersebut. Semestinya pemerintah membuat sosialisasi pengenalan terhadap bencana alam sehingga masyarakat merasa siap secara mental sejak jauh-jauh hari.Seandainya bencana alam bisa kita hindari tentu akan kita hindari tetapi bila bencna alam tidak bisa kita hindari maka kita perlu pelajari bencana itu.Kita butuh ilmu untuk mengenali bencana alam tersebut.Dengan ilmu tentang bencana alam tersebut kita bisa mengurangi jumlah korban bencana tersebut, entah korban luka,korban jiwa maupun korban harta benda.
Ada banyak jenis bencana alam yang sering menimpa Indonesia seperti gunung meletus,gempa bumi,banjir,tanah longsor dll.Apapun bencana itu kita perlu mengetahui dan memahami sehingga kita lebih siap dalam menghadapinya.Kita tentu masih ingat bencana alam yang terjadi tanggal 26 Desember 2004 di Aceh dan Sumatra utara yang menimbulkan tsunami.Berapa banyak korban yang meninggal,luka-luka,cacat dan yang kehilangan harta benda?Andai sebelum bencana tersebut terjadi,kita telah dibekali ilmu tentang pemahaman bencana alam,tentu jumlah korban tidak akan sebanyak itu.Dan lagi,kita telah belajar dari kejadian gempa dasyat taggal 27 Mei 2006 yang lalu.Dimana gempa yang terjadi “cuma” 5,9 skala richter,sehingga tidak menimbulkan air laut pasang besar ( baca : tsunami ).Coba kita bayangan jika gempa tersebut lebih dari 6.5 skala richter,tentu ada kemungkinan menimbulkan tsunami seperti di aceh dan Sumatra utara.Itu baru bencana gempa bumi,belum bencana-bencana alam lainnya.
Kita jangan melupakan akan adanya banyak gunung yang masih aktif di negeri tercinta ini.Jika gunung gunung tersebut meletus,maka akan menambah deretan bencana alam yang antri untuk meminta korban.Kemudian beberapa bulan yang lalu,adanya awan panas yang telah meminta korban jiwa adalah imbas dari aktifitas gunung berapi tersebut.Disamping itu bencana banjir yang sering melanda beberapa bagian wilayah di Indonesia.Banjir seakan seperti acara arisan yang selalu bergilir dapat jatah pada saatnya nanti.Ditambah lagi tanah longsor yang selalu terjadi di beberapa tempat juga.
Lalu bagaimana sikap kita dalam menghadapi setiap bencana itu? Apakah kita biarkan saja bencana terjadi atau cukupkah kita waspada saja tanpa dibekali ilmu secukupnya dalam memahami setiap bencana.Jika pemerintah melalui Departemen Pendidikan mau memasukan satu pelajaran lagi yaitu Ilmu Bencana Alam dalam kurikulum,maka anak-anak usia sekolah dan usia kuliah akan paham tentang bencana alam tersebut.Ilmu bencana alam bisa diajarkan dalam beberapa Tema/Pokok Bahasan misalnya ;
1. untuk Bencana Alam (Gempa Bumi ) Pokok Bahasannya : Jenis-jenis tanah di Indonesia,Apa itu gempa? Apa tindakan yang kita lakukan ketika terjadi gempa serta pasca gempa?
2. untuk Bencana Alam (Gunung Meletus) Pokok Bahasan : Jenis – jenis gunung yang ada di Indonesia,Bagaiman proses terjadinya?Apa tindakan kita bila terjadi gunug meletus?
Dan Bencana Alam –Bencana Alam yang lain bisa di buat Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan.
Dengan memasukan Ilmu Bencana Alam ke dalam kurikulum sekolah atau perkuliahan,anak -anak,remaja dan mahasiswa bisa menyikapi bencana dan bisa melakukan tindakan yang tepat berdasarkan bencana alam yang terjadi.Akan lebih baik lagi jika pelajaran tersebut ( Ilmu bencana Alam ) di sesuaikan dengan daerah masing-masing.Contohnya : Jogjakarta ada kemungkinan bencana alam yang terjadi adalah bencana gempa bumi dan gunung meletus,maka di fokuskan membahas bencana gempa bumi dan gunung meletus dalam setiap pelajaran di kelas.Pelajaran Bencana Alam bisa di laksanakan dalam satu semester saja dan diakhiri dengan praktek lapangan tentang sikap dan tindakan/aksi yang dilakukan ketika terjadi gempa.
Sekarang,tinggal satu pertanyaan yang tersisa,yaitu apakah pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional mau mengganggap penting Ilmu Bencana Alam atau tidak?Seandainya menggagap penting,tentu korban bencana alam dari kalangan pelajar akan berkurang dan para mahasiswa yang memahami bencana alam bisa menjadi ujung tombak dalam penanganan korban pasca bencana alam.Kita tunggu saja,kebijakan Pemerintah.
Ada banyak jenis bencana alam yang sering menimpa Indonesia seperti gunung meletus,gempa bumi,banjir,tanah longsor dll.Apapun bencana itu kita perlu mengetahui dan memahami sehingga kita lebih siap dalam menghadapinya.Kita tentu masih ingat bencana alam yang terjadi tanggal 26 Desember 2004 di Aceh dan Sumatra utara yang menimbulkan tsunami.Berapa banyak korban yang meninggal,luka-luka,cacat dan yang kehilangan harta benda?Andai sebelum bencana tersebut terjadi,kita telah dibekali ilmu tentang pemahaman bencana alam,tentu jumlah korban tidak akan sebanyak itu.Dan lagi,kita telah belajar dari kejadian gempa dasyat taggal 27 Mei 2006 yang lalu.Dimana gempa yang terjadi “cuma” 5,9 skala richter,sehingga tidak menimbulkan air laut pasang besar ( baca : tsunami ).Coba kita bayangan jika gempa tersebut lebih dari 6.5 skala richter,tentu ada kemungkinan menimbulkan tsunami seperti di aceh dan Sumatra utara.Itu baru bencana gempa bumi,belum bencana-bencana alam lainnya.
Kita jangan melupakan akan adanya banyak gunung yang masih aktif di negeri tercinta ini.Jika gunung gunung tersebut meletus,maka akan menambah deretan bencana alam yang antri untuk meminta korban.Kemudian beberapa bulan yang lalu,adanya awan panas yang telah meminta korban jiwa adalah imbas dari aktifitas gunung berapi tersebut.Disamping itu bencana banjir yang sering melanda beberapa bagian wilayah di Indonesia.Banjir seakan seperti acara arisan yang selalu bergilir dapat jatah pada saatnya nanti.Ditambah lagi tanah longsor yang selalu terjadi di beberapa tempat juga.
Lalu bagaimana sikap kita dalam menghadapi setiap bencana itu? Apakah kita biarkan saja bencana terjadi atau cukupkah kita waspada saja tanpa dibekali ilmu secukupnya dalam memahami setiap bencana.Jika pemerintah melalui Departemen Pendidikan mau memasukan satu pelajaran lagi yaitu Ilmu Bencana Alam dalam kurikulum,maka anak-anak usia sekolah dan usia kuliah akan paham tentang bencana alam tersebut.Ilmu bencana alam bisa diajarkan dalam beberapa Tema/Pokok Bahasan misalnya ;
1. untuk Bencana Alam (Gempa Bumi ) Pokok Bahasannya : Jenis-jenis tanah di Indonesia,Apa itu gempa? Apa tindakan yang kita lakukan ketika terjadi gempa serta pasca gempa?
2. untuk Bencana Alam (Gunung Meletus) Pokok Bahasan : Jenis – jenis gunung yang ada di Indonesia,Bagaiman proses terjadinya?Apa tindakan kita bila terjadi gunug meletus?
Dan Bencana Alam –Bencana Alam yang lain bisa di buat Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan.
Dengan memasukan Ilmu Bencana Alam ke dalam kurikulum sekolah atau perkuliahan,anak -anak,remaja dan mahasiswa bisa menyikapi bencana dan bisa melakukan tindakan yang tepat berdasarkan bencana alam yang terjadi.Akan lebih baik lagi jika pelajaran tersebut ( Ilmu bencana Alam ) di sesuaikan dengan daerah masing-masing.Contohnya : Jogjakarta ada kemungkinan bencana alam yang terjadi adalah bencana gempa bumi dan gunung meletus,maka di fokuskan membahas bencana gempa bumi dan gunung meletus dalam setiap pelajaran di kelas.Pelajaran Bencana Alam bisa di laksanakan dalam satu semester saja dan diakhiri dengan praktek lapangan tentang sikap dan tindakan/aksi yang dilakukan ketika terjadi gempa.
Sekarang,tinggal satu pertanyaan yang tersisa,yaitu apakah pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional mau mengganggap penting Ilmu Bencana Alam atau tidak?Seandainya menggagap penting,tentu korban bencana alam dari kalangan pelajar akan berkurang dan para mahasiswa yang memahami bencana alam bisa menjadi ujung tombak dalam penanganan korban pasca bencana alam.Kita tunggu saja,kebijakan Pemerintah.
HEBATNYA GURU ANAKKU
“ Kata bu Tari caranya begini, yah”. “ Kata bu Tyas juga begini” kata anak saya saat mengungkapkan pendapatnya. Di sekolahnya peran guru sangat besar sehingga pendapat dan tingkah laku guru menjadi referensi anak dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebagai guru, saya kadang iri membayangkan keberhasilan para guru di sekolah anak saya yang telah dapat mempengaruhi hidupnya. Saya sering bertanya dalam hati, “para siswa saya seperti itu tidak ya?” Apakah saya menjadi acuan mereka dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi? Atau apakah saya dijadikan barometer para siswa dalam mengambil keputusan dan mengungkapkan sudut pandang mereka?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting bagi saya, sebab saya berkeyakinan bahwa apa yang saya ajarkan harus bermanfaat bagi mereka. Apa gunanya saya mengajarkan berjam-jam, berminggu-minggu dan bertahun-tahun, namun hal itu tidak bermanfaat bagi hidup mereka? Idealnya, apa yang kita ajarkan, entah ilmu pengetahuan, ilmu ketrampilan atau yang lain dapat diaplikasikan dalam lingkungan sekitar mereka. Jadi ilmu tersebut dapat di sebut acceptable ( dapat diterima) dan applicable (dapat diterapkan).
Guru mempunyai peran yang sangat signifikan dalam menunjang keberhasian belajar siswa. Keberhasilan belajar siswa diukur dengan keberhasilan siswa dalam menerima ilmu tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari siswa. Maka keberhasilan belajar siswa yang berupa penilaian kuantitatif atau penilaian kualitatif yang diberikan guru disekolah adalah hasil belajar yang bersifat sesaat, sedang keberhasilan belajar yang hakiki adalah ketika ilmu tersebut bermanfaat dalam kehidupan para siswa.
Dengan mengajar yang baik atau melakukan proses belajar mengajar yang baik adalah salah satu cara untuk mentrasfer ilmu kita kepada para siswa. Kalau para siswa berhasil dalam belajar, maka secara langsung wali murid/orang tua siswa akan mengetahui kemampuan guru. Kenyataannya, banyak orang-tua siswa tidak mengetahui faktor-faktor yang menghambat keberhasilan belajar anaknya. Toh, apapun problem ketidak berhasilan dan keberhasilan seorang siswa, pasti gurulah yang menjadi sorotan. Kompleksitas permasalahan pembelajaran para siswa di sekolah, tugas para gurulah yang harus memecahkan. Ketika guru berhasil mengatasi masalah-masalah tersebut dan berhasil meningkatkan prestasi para siswa, maka guru tersebut dapat digolongkan sebagai guru yang hebat. Guru hebat adalah guru yang mau dan mampu berinovasi dan berkreasi untuk meminimalisir permasalahan yang timbul. Dengan berkurangnya permasalahan yang ada, diharapkan hasil belajar dapat memuaskan bagi para siswa maupun orang tua siswa/ wali siswa.
Mungkin saja, pemilihan guru favorit se-DIY yang diselenggarakan oleh MGLS (Musyawarah Guru Lintas Sekolah) bekerjasama dengan KR dapat dijadikan sebagai indikator hebatnya guru bagi para siswa, sebab pada akhirnya, penentuan guru favorit tersebut melalui SMS. Bisa jadi, yang mengirim SMS adalah para siswa kita atau orang tua siswa kita yang mengetahui track record yang baik terhadap kita. Siapa tahu, orang tua siswa kita mengirim SMS sambil bergumam,“hebatnya guru anakku, dapat lolos seleksi tertulis dan wawancara”. Siapa tahu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting bagi saya, sebab saya berkeyakinan bahwa apa yang saya ajarkan harus bermanfaat bagi mereka. Apa gunanya saya mengajarkan berjam-jam, berminggu-minggu dan bertahun-tahun, namun hal itu tidak bermanfaat bagi hidup mereka? Idealnya, apa yang kita ajarkan, entah ilmu pengetahuan, ilmu ketrampilan atau yang lain dapat diaplikasikan dalam lingkungan sekitar mereka. Jadi ilmu tersebut dapat di sebut acceptable ( dapat diterima) dan applicable (dapat diterapkan).
Guru mempunyai peran yang sangat signifikan dalam menunjang keberhasian belajar siswa. Keberhasilan belajar siswa diukur dengan keberhasilan siswa dalam menerima ilmu tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari siswa. Maka keberhasilan belajar siswa yang berupa penilaian kuantitatif atau penilaian kualitatif yang diberikan guru disekolah adalah hasil belajar yang bersifat sesaat, sedang keberhasilan belajar yang hakiki adalah ketika ilmu tersebut bermanfaat dalam kehidupan para siswa.
Dengan mengajar yang baik atau melakukan proses belajar mengajar yang baik adalah salah satu cara untuk mentrasfer ilmu kita kepada para siswa. Kalau para siswa berhasil dalam belajar, maka secara langsung wali murid/orang tua siswa akan mengetahui kemampuan guru. Kenyataannya, banyak orang-tua siswa tidak mengetahui faktor-faktor yang menghambat keberhasilan belajar anaknya. Toh, apapun problem ketidak berhasilan dan keberhasilan seorang siswa, pasti gurulah yang menjadi sorotan. Kompleksitas permasalahan pembelajaran para siswa di sekolah, tugas para gurulah yang harus memecahkan. Ketika guru berhasil mengatasi masalah-masalah tersebut dan berhasil meningkatkan prestasi para siswa, maka guru tersebut dapat digolongkan sebagai guru yang hebat. Guru hebat adalah guru yang mau dan mampu berinovasi dan berkreasi untuk meminimalisir permasalahan yang timbul. Dengan berkurangnya permasalahan yang ada, diharapkan hasil belajar dapat memuaskan bagi para siswa maupun orang tua siswa/ wali siswa.
Mungkin saja, pemilihan guru favorit se-DIY yang diselenggarakan oleh MGLS (Musyawarah Guru Lintas Sekolah) bekerjasama dengan KR dapat dijadikan sebagai indikator hebatnya guru bagi para siswa, sebab pada akhirnya, penentuan guru favorit tersebut melalui SMS. Bisa jadi, yang mengirim SMS adalah para siswa kita atau orang tua siswa kita yang mengetahui track record yang baik terhadap kita. Siapa tahu, orang tua siswa kita mengirim SMS sambil bergumam,“hebatnya guru anakku, dapat lolos seleksi tertulis dan wawancara”. Siapa tahu?
Langganan:
Postingan (Atom)