"Bun, aku keluar sebentar."
"Ke mana?" tanya istri.
Aku segera menunjukkan HP-ku. Tertera di situ ada postingan dari penyelenggara true story (Mas Dwi Suwiknyo).
"Pak, bisa datang? Saya tunggu untuk pembagian hadiah."
Begitu bunyi WA yang kutunjukkan kepada istri.
"Terus, maksudnya bagaimana?"
"Ke mana?" tanya istri.
Aku segera menunjukkan HP-ku. Tertera di situ ada postingan dari penyelenggara true story (Mas Dwi Suwiknyo).
"Pak, bisa datang? Saya tunggu untuk pembagian hadiah."
Begitu bunyi WA yang kutunjukkan kepada istri.
"Terus, maksudnya bagaimana?"
"Ya, aku minta izin untuk mengambil hadiah."
Istri diam saja. Namun itu artinya diperbolehkan. Bukankah perempuan selalu begitu? Diam itu artinya mau. Walaupun kadang diam itu artinya emas. Emas itu kuning dan kuning itu.. (ah sudahlah)
Begitu mendapat lampu ijo (menurutku sih), aku meluncur menuju rumah Mas Dwi Suwiknyo. Pernah datang ke sana, jadi aku tidak sulit menemukan. Dengan PD-nya aku geber sepeda motor membelah malam. Malam itu, yang tadinya hujan deras, kok ya langsung reda. Mungkin memang rezekiku malam itu. Melewati jalan Parangtritis yang lengang, aku mengendarai dengan kecepatan 50km/jam. Tidak terlalu cepat memang. Namun entahlah mengendarai sepeda motor matic itu agak sulit. Mana perneling enggak ada, apalagi kopling. Beugh.
Memang sih, sepeda motor matic itu sepeda motor yang ramah emak-emak. Tinggal gas pol, rem pol lancar. Begitulah sistem kerja sepeda motor matic. Aku yang tidak biasa menaiki sepeda motor matic, sedikit kesulitan. Enggak bisa menginjak rem, sedikit mengkhawatirkan. Bagaimana kalau tiba-tiba ada sepeda motor nyelonong. Wah, bahaya. Mengandalkan rem tangan kok kurang mantap. Solusinya ya pelan-pelan saja jalannya.
Kira-kira 20 menit perjalanan sampailah aku di ring road selatan. Jalanan ini juga tampak lengang dan basah. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Hujan yang turun beberapa menit sebelumnya membuat orang-orang malas untuk ke luar rumah. Berbeda denganku, yang penuh semangat. Terbayang sudah hadiah lomba true story. Apalagi kali ini naskahku lolos dua. Bisa dihitungkan, kalau untuk satu naskah dapat 500ribu maka kalau lolos dua, aku dapat 1juta. Jumlah yang cukup besar untuk membeli bakso tusuk.
Minimal memberi komisi untuk istri sebagai tanda terimakasih telah diberi izin ke luar. Terus berbagi juga dengan anak tersebab telah menjadi anak yang menurut. Paling tidak kasih saja 50ribu cukuplah. Toh, masih anak-anak. Jangan banyak-banyaklah, wong namanya masih anak-anak. Tidak elokkan memegang uang yang gede. Masih anak-anak gitu loh. Takutnya kalau diberi uang 100ribu malah untuk beli tela-tela. Lah, malah dapat satu gerobaknya. Jangan-jangan dapat penjualnya juga. #jiah
Setelah melewati beberapa tikungan, eks terminal bus Giwangan juga sudah kulewati. Tinggal lurus saja. Sekarang memasuki gang kecil. Entah mengapa perjalanan ini terasa lama dan tidak segera sampai tujuan. Apakah ini karena aku ingin buru-buru sampai? Atau memang aku agak lupa jalannya. Semoga aku benar, batinku. Aku terus mengendarai pelan-pelan, takut terlewat gangnya. Gang pertama terlewati, gang kedua sudah terlewat dan gang ketiga juga sudah terlewati. Tetapi kenapa malah sampai masjid. Harusnya kan sebelum masjid belok kiri. Haduh nyasar.
Benar saja, aku keblandang (opo yo bahasa Indonesiane?). Aku bantir stir, balik lagi. Ya, gang yang kutuju sudah kulalui. Gini ya perjuangan mau mendapatkan uang satu jeti. Enggak papa lah, perjuangan. Aku belok dan masuk gang menuju rumah Mas Dwi. Alhamdulillah, tuan rumah sudah menunggu dengan uang segepok. Uang itu katanya, hadiah untuk semua yang lolos true story, baik yang tema 1 maupun tema 2. Dan aku lolos kedua-duanya. : D Baru kali ini aku lolos kedua-duanya dan mendapat rezeki nomplok. Alhamdulillah.
Curcol (Curhat colongan)
Gambar di atas, bukan buku true story yang aku bicarakan. Namun itu buku hasil lomba true story juga untuk tema Riba. Alhamdulillah, aku juga lolos dan mendapat uang 500ribu. By the way, tentang apa sih ceritaku?
Itu kisah tentang diriku yang pernah tersesat dalam riba. Kendaraan rela kredit, rumah hasil kredit, seakan hidup komplit dan elit. Tapi ternyata, hidup malah semakin terlilit. Dan tampak kehidupan terjepit, tidak semulus yang kukira. Apakah itu artinya tidak berkah? Lalu bagaimana aku lepas dari semua itu? Semua jawaban ada di buku ini.
Mumpung masih promo, silakan order ke aku biar tahu ceritaku dan cerita teman lain soal riba.
Buku ini diskon 20% sampai tanggal 15 Februari 2018
Mumpung masih promo, silakan order ke aku biar tahu ceritaku dan cerita teman lain soal riba.
Buku ini diskon 20% sampai tanggal 15 Februari 2018