Baru pertama kali ini saya menjadi narsumber di sekolah, khususnya untuk anak SMP. Tetapi saya berharap ini kejadian yanga terakhir. Bayangkan saja masuk di sebuah SMP yang mana saya nanti mengisi menjadi narasumber, sudah disambut dengan ketidakramahan oleh satpam atau mungkin guru piket, entah aku tidak peduli. Ugh...sabar mau puasa. Pertanyaanku yang menurutku sopan dan halus dijawab dengan sikap yang tidak bersahabat; pak, mau ketemu kepala sekolah?" "Ga ada bu kepala sekolah." jawabnya tanpa menanyakan keperluan saya apa. "Saya diminta mengisi pelatihan jurnalistik." kulanjutkan dengan penjelasan. "Silakan, sebelah sana," jawabnya tanpa menunjukkan atau menemani ke ruang pelatihan. Oalah...iku lelakon opo? Sepertinya aku yang butuh, bukan aku tidak butuh membimbing muridku kalau aku tidak diminta. Penderitaanku tidak berlanjut.
Ada juga guru di SMP ini yang sudah kenal, akrab malah tetapi sepertinya dia juga cuek, mosok manggil saya pak Bambang, Bambang adalah instansiku, bukan namaku, padahal dia dulu teman akrab, sering diklat, juga pernah aku undang sebagai narasumber di diklatku. Tetapi kayaknya dia tersaingi xi..xi suudzon. Diakan pembimbing jurnalistik kenapa mengundang narsum dari luar? Ah..ini hanya perasaan.
Menurut para ahli dan para alim serta orang yang bijaksana, kita bisa tersakiti dan menderita jika kita mengijinkan hati kita menderita tetapi jika kita tidak mengijinkan maka kita baik - baik saja. Yang punya masalah bukan kita tetapi mereka dengan hati mereka, mereka dengan kesombongan mereka dan mereka dengan akhlak mereka. Sementara aku? Aku tidak bisa tersakiti kalau tidak mengijinkan. Ini pelajaran yang sangat berharga semoga ini menambah pahala bagi perjalanan hidupku.