Perubahan kriteria kelulusan seorang peserta didik
membuat otoritas seorang guru diakui. Yang dulunya kriteria kelulusan peserta
didik hanya ditentukan oleh nilai Ujian Nasional (UN), sekarang seorang peserta
didik harus menempuh 4 kriteria kelulusan. Ke-empat kriteria kelulusan peserta
didik yaitu : a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran, b) berakhlak mulia
dengan indikator memperoleh nilai
minimal baik untuk seluruh mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, mata
pelajaran estetika dan mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan, c)
lulus Ujian Sekolah dan d) lulus Ujian Nasional.
Dari uraian di atas
posisi Ujian Nasional berada paling akhir, artinya bahwa sebelum pengumuman
kelulusan Ujian Nasional, peserta didik harus lulus kriteria yang lain.
Sehingga peserta didik tidak akan berpersepsi bahwa setelah ia lulus Ujian
Nasional maka ia telah lulus dari sekolahnya. Hal ini masih menjadi pandangan
banyak peserta didik maupun orang tua peserta didik. Kejadian seorang guru yang
tidak memberikan nilai yang baik terhadap seorang peserta didik baru-baru ini, yang
membuat ia tidak lulus sekolah, semestinya tidak menjadi pro dan kontra di
kalangan kita. Penilaian peserta didik merupakan otoritas seorang guru jadi
walaupun peserta didik lulus Ujian Nasional tidak bisa otomatis peserta didik
tersebut lulus dari sekolahnya. Kalau peserta didik hanya mengejar kelulusan
pada Ujian Nasional, alangkah baiknya jika peserta didik tersebut masuk ke
lembaga bimbingan belajar saja bukan masuk ke lembaga sekolah.
Lembaga sekolah bukan hanya mengajar tetapi sekolah juga
mendidik, sehingga kita mesti appreciate
terhadap para guru yang berani menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Asumsi
penulis, tidak mungkin seorang guru tidak meluluskan peserta didik jika peserta
didik tersebut tidak kebangetan bodohnya atau nakalnya. Jadi mari kita beri
ruang terhadap para guru untuk berwibawa dan mempunyai kewenangan dalam
penilaian. Selama ini guru telah dikebiri wewenangnya dengan adanya Ujian
Nasional. Momen inilah yang tepat untuk menunjukkan kredibilitas, keprofesionalan
dan keberanian seorang guru. Walaupun penentuan kelulusan seorang peserta didik
melalui rapat Dewan Guru, tetapi pasti peserta didik atau orang tua peserta
didik akan memandang guru sebagai perseorangan sehingga ini sangat riskan
terhadap keselamatan guru. Peserta didik dan orang tua peserta didik akan
melihat mata pelajaran apa yang membuatnya tidak lulus. Dengan melihat mata
pelajaran atau guru yang mengampu secara terpisah, peserta didik dan orang tua
akan mengabaikan peran rapat Dewan Guru dalam mengambil keputusan lulus atau
tidak lulus seorang peserta didik. Oleh karena itu, sudah saatnya Undang-Undang
Perlindungan Guru (UUPG) dibuat demi keselamatan seorang guru dalam memberikan
penilaian yang semestinya.
Dengan UUPG, guru mempunyai keberanian untuk menilai
peserta didik secara obyektif dan akuntabel. UUPG akan membuat para guru nyaman
bekerja, berani memberikan penilaian yang semestinya dan keselamatan terjamin. Lihat
saja di media Televisi, para peserta didik yang tidak lulus Ujian Nasional,
mereka merusak sekolahnya dan Dinas Pendidikan setempat, apalagi jika mereka
mengetahui yang tidak meluluskan adalah guru secara pribadi. Misalnya guru
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), guru Agama atau guru lain secara
perseorangan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap para guru yang
pemberani tersebut? Ketidak-siapan peserta didik atau orang tua peserta didik
menerima kenyataan tidak lulus sekolah yang disebabkan oleh seorang guru, akan
berakibat fatal terhadap seorang guru tersebut. Oleh karena itu, penting
kiranya Undang-Undang Perlindungan Guru untuk dibuat segera.