“Tidak
boleh. Kamu tidak boleh pergi, apalagi untuk kuliah. Mau jadi apa kamu?” bentak
bapak sambil menunjuk ke arahku. Aku lihat bapak sangat marah. Untuk beberapa
orang, bapak adalah sosok yang sangat berwibawa dan menakutkan. Sorot mata yang
tajam, kumis yang lebat dan badan yang kekar menguatkan hal itu. Apalagi saat
bapak marah, semua orang pasti akan takut tetapi aku harus memberanikan diri
untuk menyampaikan keinginanku.
“Tapi
pak aku...” aku coba membela diri.
“Tidak
ada tapi-tapian, silakan kalau kamu mau menuruti kemauanmu tetapi ingat sekali
kamu melangkahkan kaki pergi kuliah maka jangan pernah kembali,” ancam bapak.
Bapak nampaknya masih marah. Dengan sorot mata yang tajam menghunjam ke arahku.
Meredupkan api keberanian yang dari tadi menyala. Api itu tinggal kerlap-kerlip
hampir padam. Sebegitu salahkah aku? Apa salahku demikian besar sehingga bapak
marah besar hari ini? Aku hanya ingin menciptakan takdirku sendiri, menjadi
sarjana dan lebih berguna bagi keluarga, kampung dan negara. Itu saja.
Ibu
mendekatiku seperti biasa menenangkan sementara bapak entah pergi kemana.
“Sudahlah
le, turuti saja kemauan Bapakmu,” bujuk ibu.
“Tapi
bu, aku ingin kuliah dulu,” jawabku.
“Untuk
apa kamu kuliah? Toh akhirnya kamu juga menjadi petani kopi seperti Bapak dan
Ibu. Mending kamu serius menggarap kebun kopi Bapakmu. Bapakmu sudah semakin
tua le. Siapa nanti yang akan membantu?”
“Tapi
bu, masih ada mas Rohmad dan mbak Sri,” aku masih mempertahankan pendapatku.
“Benar,
tetapi mereka juga kewalahan, apalagi sekarang mereka sudah berkeluarga
sehingga tidak bisa maksimal mengurus kebun kopi kita.”
“Ibu,
aku tidak keberatan menjadi petani kopi, apalagi mengurus semua kebun kopi
milik kita tetapi aku ingin mengenyam bangku kuliah dulu. Lagian jurusan
kuliahku tidak jauh-jauh dari ilmu perkebunan,” aku mencoba meyakinkan ibu.
Hanya ibu satu-satunya harapanku. Ibulah yang kuharapkan dapat menjadi penolongku
mewujudkan impian untuk bisa kuliah. Aku tidak mau seperti kakak-kakakku
mengelola perkebunan kopi dengan cara lama dan ilmu yang turun temurun. Aku
ingin tau lebih banyak. Aku ingin mengembangkan usaha keluarga. Apakah itu
salah?
“
Kamu memang seperti Bapakmu, keras kepala.”
“Nah,
berarti aku memang anak Bapak bu,” aku mengajak ibu bercanda. Ibupun ikut
tersenyum.
“Yo
wislah, terserah kamu,” kata ibu sambil meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
“Tapi
Bu, tolong bantu aku membujuk Bapak bu,” aku berlari mengejar ibu.
“Ya,
nanti Ibu bantu. Tapi tidak bisa menjanjikan hasilnya ya?”
“Ya
Bu. Minimal Ibu sudah mencoba,” jawabku. Aku menghentikan langkahku setelah
mendengar kesanggupan Ibu. Aku berjalan menuju ke kamar.
-oo0oo-
Sore
itu aku lihat bapak dan ibu sedang duduk di teras rumah, bercengkerama. Dihadapan
mereka, sebuah meja kecil dengan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng
terhidang. Kami memang petani kopi dan kopi tetap menjadi minimun pokok kami sama
seperti para petani padi yang tetap menjadikan padi sebagai makanan pokoknya.
Bedanya kami sering mengolah dan mencampur kopi kami dengan berbagai bahan atau
ramuan lainnya. Kadang kami campur dengan susu, cream, jahe dan lainnya. Jenis
kopi yang kami tanam adalah Arabika. Terkenal dengan rasanya yang enak. Aku
yang dari tadi melihat percakapan antara bapak dan ibu, tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dengan mengendap-endap
aku bersembunyi dibalik tembok, berusaha menyimak percakapan mereka. Dengan
gesitnya ibu menyodorkan secangkir kopi hitam di hadapan bapak.
“Ini
pak, kopinya, jangan sampai dingin lho,” ibu mengingatkan.
“Ya,
makasih bune,” jawab bapak sambil menyeruput kopi.
Rupanya
kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh ibu untuk membuka percakapan
tentang masalahku.
“Pak,
kenapa to Bapak tidak membolehkan Adit kuliah? Bukankah hasil panen kopi kita
cukup untuk membiayai dia kuliah?” Aku mendengar ibu membuka percakapan itu dan
aku senang ibu telah berusaha membelaku.
“
Ha! Gini bu, Ibu rela kalau Adit kuliah ke kota jauh dari kita? Terus di sana
dia bergaul dengan orang-orang kota dan terpengaruh dengan pergaulan. Kemudian
lupa dengan kuliahnya dan lupa dengan kita bu.”
“Ah,
itu cuma prasangka Bapak saja. Tidak baik pak seperti itu. Ucapan itu sebuah
doa lho pak,”
“Bukan
begitu bu, cuma aku khawatir dengan nasib dia kalau kuliah cuma disia-siakan
seperti si anu siapa itu bu?” tanya bapak.
“O,
si Nawang? Ya jangan samakan anak kita dengan Nawang pak. Setiap anak mempunyai
takdirnya sendiri. Kalau Bapak ragu-ragu dengan niat dan iman anak berarti kita
belum maksimal mengajarkan anak kita tentang iman dan agamanya. Padahal saya
yakin Bapak sudah bagus membimbing agamanya, apalagi dia sekolah di madrasah,”
ibu nampaknya berjuang mati-matian. Aku hanya tersenyum mendengar bapak
skakmat. Suasana hening aku tidak mendengar percakapan lagi. Apa bapak
menyetujui atau bapak berusaha mencari pembelaan yang lain? Aku masih sabar
menunggu percakapan selanjutnya.
“Sudahlah
bu, aku belum bisa memutuskan,” pungkas bapak. Badanku terasa lemas, aku sudah
tidak punya harapan lagi. Satu-satunya harapan hanya ibu dan sekarang ibu
nampaknya menemui jalan buntu. Ada rasa jengkel dan tidak percaya dengan
percakapan yang sia-sia tadi. Begitu susahnya meyakinkan bapak. Apakah aku
pergi saja? Meninggalkan orangtua dan kakak di sini.
“Tetapi
ingat pak, anak kita itu nekat lho kalau nanti dia minggat bagaimana?” ibu
mengingatkan.
“Eh,
iya Bapak tau,”
Bapak
berdiri dan meninggalkan ibu sendirian. Ibu diam saja dan tidak berusaha
mencegahnya. Akupun pergi dari tempat sembunyi. Suasana kembali hening dan
nampaknya yang lain sudah menuju peraduan masing-masing. Malampun semakin
larut, hanya suara jangkrik yang terdengar di daerah pegunungan ini. Daerahku
dusun Kaliasat, Bondowoso, JawaTimur.
-oo0oo-
Pagi
itu semua orang bersiap-siap pergi ke kebun kopi. Yang laki-laki mempersiapkan
keranjang, sabit dan cangkul sementara yang perempuan mempersiapkan makanan
untuk kami semua dan juga para buruh kopi. Ada lima belas buruh yang membantu
kami mengolah dan memanen kopi. Tanaman kopi ini sudah berumur lima tahunan
jadi saatnya untuk memanennya. Ini adalah panenan yang pertama untuk kopi
Arabika kami dan kami akan memanen lagi setelah 10 atau 15 hari kemudian.
Begitulah rutinitas kami para petani kopi. Monoton. Kulihat mas Rohmad
sendirian menyiapkan alat-alat pertanian. Nah ini kesempatan aku mencari
bantuan yang lain selain ibu.
“Mas, boleh ngomong ga?” tanyaku
sambil sesekali mata lirak lirik takut kalau tiba-tiba bapak muncul dan
mengetahui rencanaku.
“Hem, ada apa?” mas Rohmad balik
bertanya.
“Anu mas, mbok aku dibantuin ngomong
sama Bapak,”
“Ngomong apa?”
“Ya, itu aku tuh mau kuliah dulu.
Maksudku aku ingin meneruskan belajar yang lebih tinggi biar kita bisa
mengelola perkebunan dengan lebih baik lagi. Tidak seperti ini. Sudah bagus sih
cuma kalau kita punya ilmu yang lebih banyak tentang pekebunan kopi dan
manajemen kan akan lebih bagus dan maju,” jawabku panjang lebar.
“Ehm, ya Insha Allah nanti tak
bantu. Tetapi nanti sore saja setelah semua pekerjaan kita beres. Gimana?”
“Sip, mas. Makasih ya?”
“Ya. Mas juga bangga kok kalau ada
salah satu keluarga kita yang bisa kuliah. Bisa mengeyam pendidikan yang lebih
tinggi. Apalagi itu kamu, satu-satunya adikku. Wis tak dukung, semoga besok
kamu bisa mempraktekkan ilmumu di kampung kita, yang semuanya petani kopi.”
“Iya, mas. Tumben mas ngomongnya
bisa panjang lebar kali tinggi,” candaku.
“Ah, kamu bisa saja, ” sahut mas
Rahmad sambil melayangkan tinjunya.
Kulihat
bapak keluar rumah membawa cangkul, akupun mulai menjauhi mas Rohmad. Aku takut
bapak curiga aku mencari dukungan. Setelah semua dirasa siap kamipun berangkat
menuju perkebunan kopi. Ada delapan belas orang, aku, mas Rohmad, bapak dan
lima belas pekerja yang ikut membantu kami. Kami bekerja membersihkan daun-daun
kering yang masih menempel di pohon. Sementara para pekerja memetik buah kopi
yang sudah matang. Ada beberapa pohon yang tinggi sehingga mereka menggunakan
tangga untuk memetiknya. Berhubung para pekerja sudah cukup mahir memanjat dan
memanen kopi maka mereka tidak kesulitan memetiknya. Ada sekitar dua puluh lima
karung berisi biji kopi matang yang kami peroleh hari itu. Semua akan dibawa
pulang dahulu kemudian kami akan memilah biji kopi yang bagus dan yang kurang
bagus. Biasanya untuk biji kopi yang bagus kami akan jual dan menyisakan sedikit
untuk acara minum atau menjamu para tamu yang datang. Sedangkan kopi yang
kurang bagus akan diolah sendiri menjadi kopi yang rasa pahitnya memiliki daya
tarik tersendiri. Itupun kami lakukan dengan cara yang masih tradisional. Maklum
ilmu yang kami miliki belum mampu untuk mengolah rasa kopi yang enak seperti di
cafe atau restoran mahal di kota-kota besar. Tidak terasa hari semakin siang,.
Matahari semakin terasa panas dan sayup-sayup terdengar suara adzan. Inilah
saatnya kami istirahat terlebih dahulu.. Dari kejauhan aku melihat mbak Sri dan
istri mas Rohmad naik sepeda motor membawa
rangsum, makan siang kami.
“Ayo semuanya makan dulu, mumpung
masih hangat,” ajak mbak Sri.
Tanpa
dikomando dua kali semua pekerja menghentikan pekerjaannya dan merapat menuju
tempat makanan dihidangkan. Bapak, mas Rohmad dan akupun tak ketinggalan. Menu
siang itu adalah nasi bungkus dengan lauk telur goreng dan tempe goreng. Lumayan
untuk mengganjal perut yang sudah keroncongan dari tadi. Kami makan dengan
lahap. Sementara mbak Sri dan istri mas Rohmad meninggalkan kami dan menuju ke
perkebunan kopi untuk melihat hasil panen hari itu. Setelah beristirahat kurang
lebih satu jam kamipun bubar menuju ke tempat semula, melanjutkan pekerjaan
kami. Tak lupa menyalakan rokok kami masing-masing. Ada beberapa pekerja yang
mulai kepanasan dan mereka melepas baju.
“ Mad, suruh mereka menaikkan
karung-karung itu ke atas truk, terus kita pulang,” pinta bapak.
“Ya pak,”
Kemudian mas Rohmad menyuruh semua
pekerja untuk memasukkan semua karung biji kopi ke bak truk. Tak berapa lama
semua karung sudah di atas bak truk. Seperti biasanya aku diminta untuk menjadi
sopir truk sementara mas Rohmad dan bapak berboncengan naik sepeda motor.
Sedangkan para pekerja ada yang membawa
sepeda motor sendiri dan ada yang ikut naik di truk. Hari itu panen kopi sangat
memuaskan karena kemarau cukup panjang sehingga biji kopi bisa kering dengan
maksimal. Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya kamipun sampai di rumah.
Dengan sigap para pekerja menurunkan karung-karung biji kopi dan memasukkan ke
gudang penyimpanan. Kemudian di hari berikutnya kami akan memilah-milah biji
kopi tersebut. Bapak dan mas Rohmad tiba terlebih dahulu. Mereka tanpa mengenal
lelah melanjutkan pekerjaannya membereskan barang-barang yang kami bawa tadi.
Begitulah kegiatan kami setiap tahun. Monoton tidak ada kemajuan, tidak ada
yang bisa kami lakukan lebih baik lagi. Namun dalam hatiku jika aku bisa kuliah
dan mempunyai pengetahuan lebih soal pengolahan dan pengelolaan hasil kopi tentu
keluargaku tidak akan terlalu repot seperti ini. Kami belum bisa mengolah kopi
dengan baik sehingga kadang harga kopi di tingkat petani sangat murah padahal
ketika sudah sampai pabrik harga kopi bisa sangat mahal. Itu yang perlu aku
ubah dan perjuangkan sehingga para petani kopi di desaku dapat hidup lebih
sejahtera.
-oo0oo-
Sore
itu, saat yang aku tunggu-tunggu. Menunggu mas Rohmad bilang kepada bapak
tentang niatku pergi kuliah. Sebetulnya bagiku kuliah itu hal yang sangat biasa
tetapi kenapa bapak demikian khawatirnya. Apalagi khawatir mengenai pergaulan
para mahasiswa sekarang ini. Ah, aku tidak mengerti pemikiran bapak. Bapak
seperti biasa duduk di beranda rumah dan seperti biasa juga bersama ibu. Tidak
ada yang beda khas suasana orang desa, orang kampung. Di meja juga masih sama
ada secangkir kopi hitam dan sepiring tempe goreng. Jenis makanan gorengan
inilah yang sering gonta-ganti karena ibu memang wanita yang pandai memasak.
Sosok wanita idaman. Kelemahan seorang laki-laki adalah di perutnya, jika
perutnya sudah terpuaskan maka dia tidak akan selingkuh. Apa bener ya? Ga
taulah aku. Aku masih sekolah tidak memikirkan tentang rumah tangga dulu. Besok
kalau aku sudah diwisuda maka aku akan menikahi seorang wanita yang pandai
memasak. Ah, itu juga masih lama.
“Pak?”
aku mendatangi bapak di teras.
“
Hem,” bapak hanya mendehem.
“
Pak, boleh ya pak Adit kuliah? Adit akan sungguh-sungguh belajar dan nanti
kalau sudah diwisuda Adit akan pulang dan membantu Bapak, Ibu, Mbak Sri dan Mas
Rohmad.”
“Berapa
kali, Bapak bilang? Tidak boleh,” nada bapak meninggi. Ada perubahan raut
mukanya.
“Kenapa
Bapak tidak membolehkan? Bukankah belajar itu hal yang baik? Bukankah Bapak
nanti ikut bangga jika aku berhasil menjadi sarjana.”
“Halah,
apa itu? Apa tidak cukup kaya kamu dengan kebun kopi yang luas dan hasil panen
yang melimpah? Kurang cukup apa? Bapak rasa itu cukup menghidupi kalian semua
selama berpuluh-puluh tahun. Tidak perlu ke kuliah. Nanti yang membantu Bapak
siapa?”
“Yang
membantu Bapak saya pak, istri saya dan mbak Sri pak,” mas Rohmad menyela
percakapan kami. Ini yang kuharapkan bantuan datang.
“Dit,
nih tiru kakakmu dia nrimo menggarap kebun kopi dan tidak ingin kuliah yang
jauh-jauh ke kota dan hasilnya tidak ada. Hanya menghambur-hamburkan uang
saja.”
“Maaf,
pak sebetulnya aku juga ingin kuliah Pak. Tetapi melihat Bapak dulu bersikeras
melarang aku kuliah maka kuurungkan niatku Pak,” mas Rohmad memberanikan
menjawab. Bapak terdiam, tidak berkata apa-apa.
“Sudahlah
Pak, biarkan Adit kuliah lagi. Setiap orang mempunyai nasibnya sendiri. Siapa
tahu dengan Adit kuliah lagi dia mempunyai ilmu yang cukup untuk mengembangkan
perkebunan kita. Toh Adit kuliahnya di jurusan pertanian pak,” ibu ikut
meyakinkan. Bapak nampak termenung dan tetap bungkam. Bapak menghela nafas
panjang.
“Baiklah.
Bapak setuju.” Nyes. Serasa hatiku diredam air es. Setengah tak percaya bahwa
bapak akhirnya menyetujui keputusanku. Ini baru pertama kali dalam hidupku
bapak mau mengikuti keinginan anak-anaknya. Biasanya bapak kalau sudah
berkehendak tidak ada seorangpun yang dapat menghentikan atau merubahnya
termasuk ibu. Bapak mempunyai hati yang keras. Namun hari ini hati itu akhirnya
bisa ditaklukkan. Hari ini hati itu tidak sekeras baja lagi.
“Tetapi
Bapak berpesan. Kamu harus belajar sungguh-sungguh, jangan main-main. Jangan
buat Bapak kecewa. Setiap libur kuliah kamu harus pulang dan membantu
kakak-kakakmu di sini. Selesaikan kuliahmu dengan cepat dan kembali ke kampung
segera,” bapak memperingatkan. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dalam
hatiku syarat apapun yang bapak pinta pasti akan aku turuti sebab bagaimanapun
ini kesempatan langka yang terjadi dalam keluargaku. Apalagi di desaku juga
baru satu orang yang pergi ke kota untuk kuliah, ya mas Nawang. Namun memang
mas Nawang tidak serius dengan kuliahnya sehingga hampir tujuh tahun lebih dia
tidak lulus. Selama itu juga dia masih mondar-mandir pulang ke kampung.
“Baik,
pak. Mohon doa restunya,” pintaku sambil mencium tangan bapak. Kemudian
mendekati ibu dan mencium tangan ibu. Ibu nampak terharu dan matanya
berkaca-kaca melihatku. Ibu mengusap kepalaku dan menciumnya. Aku sangat
bahagia dan tak lupa aku juga menjabat erat tangan mas Rohmad, berkat mas
Rohmadlah hati bapak bisa luluh dan mengijinkanku kuliah ke kota. Sore itu
langit terasa begitu cerah seakan-akan mewakili hatiku yang berbunga-bunga
menemukan kembali semangatku. Tak terasa aku merasa sangat haus. Tanpa memohon
mas Rohmad aku ambil gelas kopinya dan sruffff..rasa pahit kopi tak terasa
bahkan bagiku itulah kopi termanis yang pernah kuminum.
-oo0oo-
Serayu,
13 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar yang membangun sangat berguna tidak hanya bisa mencaci tetapi berikan juga solusi