Setelah tidak berhasil datang ke workshop, aku (kembali) datang ke bank. Penasaran saja, kenapa nasabah kok padat merayap.
Setelah memarkir sepeda motor, aku menuju pintu bank.
Dengan sigap mbak satpam membukakan pintu. Meskipun ini bukan yang pertama tapi kalau yang membuka pintu, embak embak kok tambah Mak nyes. Eh, bukan ding itu ternyata efek AC bank.
Mbak sekuriti tersenyum manis, aku pun membalas.
"Mau ke mana, teller atau customer service?" tanyanya ramah.
"Ke Teller, Mbak."
Mbak sekuriti pun memijit mesin antrian. Teeeet. Keluarlah selembar kertas antrian. Nomor 132. Hum, cukup banyak. Dan ternyata hidupku tidak bisa jauh jauh dari angka 13. Kalau kemarin angka 134 sekarang angka 132. Jian,
Dia mengangsurkan nomor antrian.
Kuterima sambil mengucapkan banyak terimakasih. Kemudian aku membawa nomor itu sambil mencari tempat duduk. Mata kuedarkan dan tertumbuk kepada sosok ibu ibu.
Wajahnya begitu akrab. Dengan kacamata putih, seperti dulu. 10 tahun yang lalu. Oiya, aku baru ingat kalau beliau adalah guru SMA ku.
Raut mukanya masih sama. Bersih. Masih cantik. Sedikit sekali goresan penuaan di wajahnya. Masih menawan. Masih ngangenin. Eh, enggak ding.
Dulu beliau mengajar mapel IPS Sejarah. Beliaulah yang mengajarkan tentang sejarah dan masa lalu. Jadi kalau orang lain melupakan masa lalu tapi beliau malah nyuruh mengingat. Itulah mengapa kami, para siswanya sulit untuk move on.