Jumat, 19 Agustus 2016

HATI TAK SEKERAS BATU

“Tidak boleh. Kamu tidak boleh pergi, apalagi untuk kuliah. Mau jadi apa kamu?” bentak bapak sambil menunjuk ke arahku. Aku lihat bapak sangat marah. Untuk beberapa orang, bapak adalah sosok yang sangat berwibawa dan menakutkan. Sorot mata yang tajam, kumis yang lebat dan badan yang kekar menguatkan hal itu. Apalagi saat bapak marah, semua orang pasti akan takut tetapi aku harus memberanikan diri untuk menyampaikan keinginanku.
“Tapi pak aku...” aku coba membela diri.
“Tidak ada tapi-tapian, silakan kalau kamu mau menuruti kemauanmu tetapi ingat sekali kamu melangkahkan kaki pergi kuliah maka jangan pernah kembali,” ancam bapak. Bapak nampaknya masih marah. Dengan sorot mata yang tajam menghunjam ke arahku. Meredupkan api keberanian yang dari tadi menyala. Api itu tinggal kerlap-kerlip hampir padam. Sebegitu salahkah aku? Apa salahku demikian besar sehingga bapak marah besar hari ini? Aku hanya ingin menciptakan takdirku sendiri, menjadi sarjana dan lebih berguna bagi keluarga, kampung dan negara. Itu saja.
Ibu mendekatiku seperti biasa menenangkan sementara bapak entah pergi kemana.
“Sudahlah le, turuti saja kemauan Bapakmu,” bujuk ibu.
“Tapi bu, aku ingin kuliah dulu,” jawabku.
“Untuk apa kamu kuliah? Toh akhirnya kamu juga menjadi petani kopi seperti Bapak dan Ibu. Mending kamu serius menggarap kebun kopi Bapakmu. Bapakmu sudah semakin tua le. Siapa nanti yang akan membantu?”
“Tapi bu, masih ada mas Rohmad dan mbak Sri,” aku masih mempertahankan pendapatku.
“Benar, tetapi mereka juga kewalahan, apalagi sekarang mereka sudah berkeluarga sehingga tidak bisa maksimal mengurus kebun kopi kita.”
“Ibu, aku tidak keberatan menjadi petani kopi, apalagi mengurus semua kebun kopi milik kita tetapi aku ingin mengenyam bangku kuliah dulu. Lagian jurusan kuliahku tidak jauh-jauh dari ilmu perkebunan,” aku mencoba meyakinkan ibu. Hanya ibu satu-satunya harapanku. Ibulah yang kuharapkan dapat menjadi penolongku mewujudkan impian untuk bisa kuliah. Aku tidak mau seperti kakak-kakakku mengelola perkebunan kopi dengan cara lama dan ilmu yang turun temurun. Aku ingin tau lebih banyak. Aku ingin mengembangkan usaha keluarga. Apakah itu salah?
“ Kamu memang seperti Bapakmu, keras kepala.”
“Nah, berarti aku memang anak Bapak bu,” aku mengajak ibu bercanda. Ibupun ikut tersenyum.
“Yo wislah, terserah kamu,” kata ibu sambil meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
“Tapi Bu, tolong bantu aku membujuk Bapak bu,” aku berlari mengejar ibu.
“Ya, nanti Ibu bantu. Tapi tidak bisa menjanjikan hasilnya ya?”
“Ya Bu. Minimal Ibu sudah mencoba,” jawabku. Aku menghentikan langkahku setelah mendengar kesanggupan Ibu. Aku berjalan menuju ke kamar.

-oo0oo-

Sore itu aku lihat bapak dan ibu sedang duduk di teras rumah, bercengkerama. Dihadapan mereka, sebuah meja kecil dengan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng terhidang. Kami memang petani kopi dan kopi tetap menjadi minimun pokok kami sama seperti para petani padi yang tetap menjadikan padi sebagai makanan pokoknya. Bedanya kami sering mengolah dan mencampur kopi kami dengan berbagai bahan atau ramuan lainnya. Kadang kami campur dengan susu, cream, jahe dan lainnya. Jenis kopi yang kami tanam adalah Arabika. Terkenal dengan rasanya yang enak. Aku yang dari tadi melihat percakapan antara bapak dan ibu, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dengan mengendap-endap aku bersembunyi dibalik tembok, berusaha menyimak percakapan mereka. Dengan gesitnya ibu menyodorkan secangkir kopi hitam di hadapan bapak.
“Ini pak, kopinya, jangan sampai dingin lho,” ibu mengingatkan.
“Ya, makasih bune,” jawab bapak sambil menyeruput kopi.
Rupanya kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh ibu untuk membuka percakapan tentang masalahku.
“Pak, kenapa to Bapak tidak membolehkan Adit kuliah? Bukankah hasil panen kopi kita cukup untuk membiayai dia kuliah?” Aku mendengar ibu membuka percakapan itu dan aku senang ibu telah berusaha membelaku.
“ Ha! Gini bu, Ibu rela kalau Adit kuliah ke kota jauh dari kita? Terus di sana dia bergaul dengan orang-orang kota dan terpengaruh dengan pergaulan. Kemudian lupa dengan kuliahnya dan lupa dengan kita bu.”
“Ah, itu cuma prasangka Bapak saja. Tidak baik pak seperti itu. Ucapan itu sebuah doa lho pak,”
“Bukan begitu bu, cuma aku khawatir dengan nasib dia kalau kuliah cuma disia-siakan seperti si anu siapa itu bu?” tanya bapak.
“O, si Nawang? Ya jangan samakan anak kita dengan Nawang pak. Setiap anak mempunyai takdirnya sendiri. Kalau Bapak ragu-ragu dengan niat dan iman anak berarti kita belum maksimal mengajarkan anak kita tentang iman dan agamanya. Padahal saya yakin Bapak sudah bagus membimbing agamanya, apalagi dia sekolah di madrasah,” ibu nampaknya berjuang mati-matian. Aku hanya tersenyum mendengar bapak skakmat. Suasana hening aku tidak mendengar percakapan lagi. Apa bapak menyetujui atau bapak berusaha mencari pembelaan yang lain? Aku masih sabar menunggu percakapan selanjutnya.
“Sudahlah bu, aku belum bisa memutuskan,” pungkas bapak. Badanku terasa lemas, aku sudah tidak punya harapan lagi. Satu-satunya harapan hanya ibu dan sekarang ibu nampaknya menemui jalan buntu. Ada rasa jengkel dan tidak percaya dengan percakapan yang sia-sia tadi. Begitu susahnya meyakinkan bapak. Apakah aku pergi saja? Meninggalkan orangtua dan kakak di sini.
“Tetapi ingat pak, anak kita itu nekat lho kalau nanti dia minggat bagaimana?” ibu mengingatkan.
“Eh, iya Bapak tau,”
Bapak berdiri dan meninggalkan ibu sendirian. Ibu diam saja dan tidak berusaha mencegahnya. Akupun pergi dari tempat sembunyi. Suasana kembali hening dan nampaknya yang lain sudah menuju peraduan masing-masing. Malampun semakin larut, hanya suara jangkrik yang terdengar di daerah pegunungan ini. Daerahku dusun Kaliasat, Bondowoso, JawaTimur.
-oo0oo-
Pagi itu semua orang bersiap-siap pergi ke kebun kopi. Yang laki-laki mempersiapkan keranjang, sabit dan cangkul sementara yang perempuan mempersiapkan makanan untuk kami semua dan juga para buruh kopi. Ada lima belas buruh yang membantu kami mengolah dan memanen kopi. Tanaman kopi ini sudah berumur lima tahunan jadi saatnya untuk memanennya. Ini adalah panenan yang pertama untuk kopi Arabika kami dan kami akan memanen lagi setelah 10 atau 15 hari kemudian. Begitulah rutinitas kami para petani kopi. Monoton. Kulihat mas Rohmad sendirian menyiapkan alat-alat pertanian. Nah ini kesempatan aku mencari bantuan yang lain selain ibu.
            “Mas, boleh ngomong ga?” tanyaku sambil sesekali mata lirak lirik takut kalau tiba-tiba bapak muncul dan mengetahui rencanaku.
            “Hem, ada apa?” mas Rohmad balik bertanya.
            “Anu mas, mbok aku dibantuin ngomong sama Bapak,”
            “Ngomong apa?”
            “Ya, itu aku tuh mau kuliah dulu. Maksudku aku ingin meneruskan belajar yang lebih tinggi biar kita bisa mengelola perkebunan dengan lebih baik lagi. Tidak seperti ini. Sudah bagus sih cuma kalau kita punya ilmu yang lebih banyak tentang pekebunan kopi dan manajemen kan akan lebih bagus dan maju,” jawabku panjang lebar.
            “Ehm, ya Insha Allah nanti tak bantu. Tetapi nanti sore saja setelah semua pekerjaan kita beres. Gimana?”
            “Sip, mas. Makasih ya?”
            “Ya. Mas juga bangga kok kalau ada salah satu keluarga kita yang bisa kuliah. Bisa mengeyam pendidikan yang lebih tinggi. Apalagi itu kamu, satu-satunya adikku. Wis tak dukung, semoga besok kamu bisa mempraktekkan ilmumu di kampung kita, yang semuanya petani kopi.”
            “Iya, mas. Tumben mas ngomongnya bisa panjang lebar kali tinggi,” candaku.
            “Ah, kamu bisa saja, ” sahut mas Rahmad sambil melayangkan tinjunya.
Kulihat bapak keluar rumah membawa cangkul, akupun mulai menjauhi mas Rohmad. Aku takut bapak curiga aku mencari dukungan. Setelah semua dirasa siap kamipun berangkat menuju perkebunan kopi. Ada delapan belas orang, aku, mas Rohmad, bapak dan lima belas pekerja yang ikut membantu kami. Kami bekerja membersihkan daun-daun kering yang masih menempel di pohon. Sementara para pekerja memetik buah kopi yang sudah matang. Ada beberapa pohon yang tinggi sehingga mereka menggunakan tangga untuk memetiknya. Berhubung para pekerja sudah cukup mahir memanjat dan memanen kopi maka mereka tidak kesulitan memetiknya. Ada sekitar dua puluh lima karung berisi biji kopi matang yang kami peroleh hari itu. Semua akan dibawa pulang dahulu kemudian kami akan memilah biji kopi yang bagus dan yang kurang bagus. Biasanya untuk biji kopi yang bagus kami akan jual dan menyisakan sedikit untuk acara minum atau menjamu para tamu yang datang. Sedangkan kopi yang kurang bagus akan diolah sendiri menjadi kopi yang rasa pahitnya memiliki daya tarik tersendiri. Itupun kami lakukan dengan cara yang masih tradisional. Maklum ilmu yang kami miliki belum mampu untuk mengolah rasa kopi yang enak seperti di cafe atau restoran mahal di kota-kota besar. Tidak terasa hari semakin siang,. Matahari semakin terasa panas dan sayup-sayup terdengar suara adzan. Inilah saatnya kami istirahat terlebih dahulu.. Dari kejauhan aku melihat mbak Sri dan istri mas Rohmad  naik sepeda motor membawa rangsum, makan siang kami.
            “Ayo semuanya makan dulu, mumpung masih hangat,” ajak mbak Sri.
Tanpa dikomando dua kali semua pekerja menghentikan pekerjaannya dan merapat menuju tempat makanan dihidangkan. Bapak, mas Rohmad dan akupun tak ketinggalan. Menu siang itu adalah nasi bungkus dengan lauk telur goreng dan tempe goreng. Lumayan untuk mengganjal perut yang sudah keroncongan dari tadi. Kami makan dengan lahap. Sementara mbak Sri dan istri mas Rohmad meninggalkan kami dan menuju ke perkebunan kopi untuk melihat hasil panen hari itu. Setelah beristirahat kurang lebih satu jam kamipun bubar menuju ke tempat semula, melanjutkan pekerjaan kami. Tak lupa menyalakan rokok kami masing-masing. Ada beberapa pekerja yang mulai kepanasan dan mereka melepas baju.
            “ Mad, suruh mereka menaikkan karung-karung itu ke atas truk, terus kita pulang,” pinta bapak.
            “Ya pak,”
            Kemudian mas Rohmad menyuruh semua pekerja untuk memasukkan semua karung biji kopi ke bak truk. Tak berapa lama semua karung sudah di atas bak truk. Seperti biasanya aku diminta untuk menjadi sopir truk sementara mas Rohmad dan bapak berboncengan naik sepeda motor. Sedangkan para pekerja  ada yang membawa sepeda motor sendiri dan ada yang ikut naik di truk. Hari itu panen kopi sangat memuaskan karena kemarau cukup panjang sehingga biji kopi bisa kering dengan maksimal. Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya kamipun sampai di rumah. Dengan sigap para pekerja menurunkan karung-karung biji kopi dan memasukkan ke gudang penyimpanan. Kemudian di hari berikutnya kami akan memilah-milah biji kopi tersebut. Bapak dan mas Rohmad tiba terlebih dahulu. Mereka tanpa mengenal lelah melanjutkan pekerjaannya membereskan barang-barang yang kami bawa tadi. Begitulah kegiatan kami setiap tahun. Monoton tidak ada kemajuan, tidak ada yang bisa kami lakukan lebih baik lagi. Namun dalam hatiku jika aku bisa kuliah dan mempunyai pengetahuan lebih soal pengolahan dan pengelolaan hasil kopi tentu keluargaku tidak akan terlalu repot seperti ini. Kami belum bisa mengolah kopi dengan baik sehingga kadang harga kopi di tingkat petani sangat murah padahal ketika sudah sampai pabrik harga kopi bisa sangat mahal. Itu yang perlu aku ubah dan perjuangkan sehingga para petani kopi di desaku dapat hidup lebih sejahtera.
-oo0oo-
Sore itu, saat yang aku tunggu-tunggu. Menunggu mas Rohmad bilang kepada bapak tentang niatku pergi kuliah. Sebetulnya bagiku kuliah itu hal yang sangat biasa tetapi kenapa bapak demikian khawatirnya. Apalagi khawatir mengenai pergaulan para mahasiswa sekarang ini. Ah, aku tidak mengerti pemikiran bapak. Bapak seperti biasa duduk di beranda rumah dan seperti biasa juga bersama ibu. Tidak ada yang beda khas suasana orang desa, orang kampung. Di meja juga masih sama ada secangkir kopi hitam dan sepiring tempe goreng. Jenis makanan gorengan inilah yang sering gonta-ganti karena ibu memang wanita yang pandai memasak. Sosok wanita idaman. Kelemahan seorang laki-laki adalah di perutnya, jika perutnya sudah terpuaskan maka dia tidak akan selingkuh. Apa bener ya? Ga taulah aku. Aku masih sekolah tidak memikirkan tentang rumah tangga dulu. Besok kalau aku sudah diwisuda maka aku akan menikahi seorang wanita yang pandai memasak. Ah, itu juga masih lama.
“Pak?” aku mendatangi bapak di teras.
“ Hem,” bapak hanya mendehem.
“ Pak, boleh ya pak Adit kuliah? Adit akan sungguh-sungguh belajar dan nanti kalau sudah diwisuda Adit akan pulang dan membantu Bapak, Ibu, Mbak Sri dan Mas Rohmad.”
“Berapa kali, Bapak bilang? Tidak boleh,” nada bapak meninggi. Ada perubahan raut mukanya.
“Kenapa Bapak tidak membolehkan? Bukankah belajar itu hal yang baik? Bukankah Bapak nanti ikut bangga jika aku berhasil menjadi sarjana.”
“Halah, apa itu? Apa tidak cukup kaya kamu dengan kebun kopi yang luas dan hasil panen yang melimpah? Kurang cukup apa? Bapak rasa itu cukup menghidupi kalian semua selama berpuluh-puluh tahun. Tidak perlu ke kuliah. Nanti yang membantu Bapak siapa?”
“Yang membantu Bapak saya pak, istri saya dan mbak Sri pak,” mas Rohmad menyela percakapan kami. Ini yang kuharapkan bantuan datang.
“Dit, nih tiru kakakmu dia nrimo menggarap kebun kopi dan tidak ingin kuliah yang jauh-jauh ke kota dan hasilnya tidak ada. Hanya menghambur-hamburkan uang saja.”
“Maaf, pak sebetulnya aku juga ingin kuliah Pak. Tetapi melihat Bapak dulu bersikeras melarang aku kuliah maka kuurungkan niatku Pak,” mas Rohmad memberanikan menjawab. Bapak terdiam, tidak berkata apa-apa.
“Sudahlah Pak, biarkan Adit kuliah lagi. Setiap orang mempunyai nasibnya sendiri. Siapa tahu dengan Adit kuliah lagi dia mempunyai ilmu yang cukup untuk mengembangkan perkebunan kita. Toh Adit kuliahnya di jurusan pertanian pak,” ibu ikut meyakinkan. Bapak nampak termenung dan tetap bungkam. Bapak menghela nafas panjang.
“Baiklah. Bapak setuju.” Nyes. Serasa hatiku diredam air es. Setengah tak percaya bahwa bapak akhirnya menyetujui keputusanku. Ini baru pertama kali dalam hidupku bapak mau mengikuti keinginan anak-anaknya. Biasanya bapak kalau sudah berkehendak tidak ada seorangpun yang dapat menghentikan atau merubahnya termasuk ibu. Bapak mempunyai hati yang keras. Namun hari ini hati itu akhirnya bisa ditaklukkan. Hari ini hati itu tidak sekeras baja lagi.
“Tetapi Bapak berpesan. Kamu harus belajar sungguh-sungguh, jangan main-main. Jangan buat Bapak kecewa. Setiap libur kuliah kamu harus pulang dan membantu kakak-kakakmu di sini. Selesaikan kuliahmu dengan cepat dan kembali ke kampung segera,” bapak memperingatkan. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hatiku syarat apapun yang bapak pinta pasti akan aku turuti sebab bagaimanapun ini kesempatan langka yang terjadi dalam keluargaku. Apalagi di desaku juga baru satu orang yang pergi ke kota untuk kuliah, ya mas Nawang. Namun memang mas Nawang tidak serius dengan kuliahnya sehingga hampir tujuh tahun lebih dia tidak lulus. Selama itu juga dia masih mondar-mandir pulang ke kampung.
“Baik, pak. Mohon doa restunya,” pintaku sambil mencium tangan bapak. Kemudian mendekati ibu dan mencium tangan ibu. Ibu nampak terharu dan matanya berkaca-kaca melihatku. Ibu mengusap kepalaku dan menciumnya. Aku sangat bahagia dan tak lupa aku juga menjabat erat tangan mas Rohmad, berkat mas Rohmadlah hati bapak bisa luluh dan mengijinkanku kuliah ke kota. Sore itu langit terasa begitu cerah seakan-akan mewakili hatiku yang berbunga-bunga menemukan kembali semangatku. Tak terasa aku merasa sangat haus. Tanpa memohon mas Rohmad aku ambil gelas kopinya dan sruffff..rasa pahit kopi tak terasa bahkan bagiku itulah kopi termanis yang pernah kuminum.
-oo0oo-
Serayu, 13 Agustus 2016