Senin, 08 Januari 2018

SUSAHNYA MENGAJAK GURU MENULIS

   
Menulis bagi sebagian orang itu hal yang mudah. Bagi sebagian yang lain susah. Apalagi tulisan yang dibuat memakai aturan yang baku. Sebab tanpa aturan atau pedoman yang baku, hampir semua orang bisa menulis. Buktinya banyak orang begitu mudah status. Begitu mudah komen, baik dalam group WA atau dalam sosial media yang lain. Begitu mudah, lancar dan bisa berpanjang-panjang. Tetapi ketika diminta menulis dengann tema tertentu dan aturan tertentu. Mati, sunyi dan berhenti.
   Tidak banyak guru yang mau repot-repot menulis. Sedikit guru yang mau berguru kepada para ahlinya atau penulis.Pun jarang seorang guru yang rela membayar guna mendapatkan ilmu menulis. Bukan bermaksud menyudutkan atau menyalahkan guru. Namun banyak kasus guru hanya mengejar sertifikat. Tanpa sertifikat workshop atau pelatihan akan sepi peminat. Sebab memang sertifikat itu penting untuk guru, minimal digunakan dalam SKP (Sasaran Kinerja Pegawai). Di samping itu, bisa juga digunakan untuk kenaikan PAK (Penilaian Angka Kredit). Begitulah kenyataannya, mau diakui atau tidak.
    Pernah saya membuat sebuah forum atau bisa disebut event organiser (EO). Tujuan event organiser itu jelas membuat event. Namun event seperti apa? Tentu bukan event konser atau pertandingan, bukan. EO yang kubentuk itu mengadakan kegiatan tulis menulis. Sesuai namanya FPPG (Forum Peduli Profesi Guru) maka event-nya tentu kegiatan guru. Pada event yang pertama, cukup banyak peminatnya, sekitar 150 orang. Kurang lebih sebanyak itu sebab banyak teman penulis di sekolah yang ikut. Jadi teman-teman itu membuat event tersebut terlihat banyak dan ramai. Event berjalan lancar dan sukses sebab memang kontribusi yang kami minta tidak banyak. Hanya Rp50.000 rupiah dengan berbagai fasilitas, termasuk sertifikat.
    Dengan uang lima ribu rupiah mereka sudah mendapat snack, makan siang, modul, ilmu dan sertifikat. Ah, pokoknya banyak yang mereka dapat. Mungkin itu yang membuat peserta cukup banyak. Apalagi sertifikat ditanda tangani oleh kepala dinas kabupaten, lengkap sudah fasilitasnya. Mungkin kalau 'hanya' tanda tangan penyelenggara kurang prestisius. Namun tersebab ditanda-tangani kepala dinas, semakin mantaplah para peserta workshop. Oiya saat itu aku juga mengajak kerjasama dengan organisasi guru terbesar di Indonesia. Walaupun yang kuajak kerjasama hanya tingkat kabupatennya. Alhamdulillah menambah meriah pesertanya.
    Saat itu banyak faktor yang membuat sebuah workshop bisa meriah dan ramai. Salah satunya kontribusi yang murah. Mungkin kalau aku naikkan lagi menjadi Rp500.000 atau lebih bisa jadi pesertanya sedikit. Memang menulis itu butuh semangat dan dana. Saat semangat ada dan dana tidak ada, pasti akan mencari. Bagaimana caranya mengikuti workshop menulis. Berbeda dengan dana tersedia tetapi semangat tidak ada, pasti tidak ikut. Apalagi kalau sampai hitung-hitungan, nanti aku dapat apa? Rugi tidak? dan lain sebagainya. Itulah yang menghambat guru berkembang dan maju. Kalau begitu wajar dong kalau guru masih mentok di golongan itu-itu saja.
    Sebab memang untuk kenaikan jabatan diharuskan setiap guru menulis. Minimal golongan IIIb sudah diwajibkan menulis. Nah, menulis yang dimaksud dalam aturan tersebut adalah menulis dengan pedoman tertentu. Bukan menulis status atau menulis di media sosial. Sebab menulis status atau postingan lain tentu 'hanya' curahan emosi di saat itu. Bisa jadi itu tidak permanen dan hanya luapan perasaan sesaat. Namun di saat menulis hal yang serius, hal yang lebih bermanfaat bagi orang lain, ceritanya akan berbeda. Akan terasa berat, sulit dan melelahkan. Bagi banyak orang itu hal yang merepotkan, jadi untuk apa repot-repot? Begitu pikirnya.
    Lebih parah lagi, iming-iming tambahan gaji bagi golongan di atasnya kurang menggiurkan. Berapa sih tambahan gaji untuk golongan atas? Tidak banyak. Malah kalau Anda sudah golongan IV, potongan pajaknya lebih banyak. Jadi nanti akan banyak potongan di setiap kegiatan kedinasan. Itu juga menurunkan minat dan motivasi guru naik pangkat. Sudah syarat susah (harus menulis), tambahan gaji sedikit masih ada potongan pajak yang lebih besar. Lengkap sudah alasan guru untuk berkreasi, inovasi dan berkarya. Untung apa repot-repot kalau gaji yang sekarang sudah cukup. Ditambah tunjangan sertifikasi yang rutin diterima. Yang penting mengajar 24 jam per minggu, tunjangan sertifikasi lancar mengalir ke rekening. 
    Ini mungkin aib dan juga naif namun begitu kejadiannya. Anda boleh mendebat tulisan ini. Namun memang begitu fakta di lapangan. Guru terlalu nyaman dalam zonanya. Guru sudah terbiasa dengan hal-hal yang enak dan melenakan. Sehingga kerepotan sedikit (baca menulis) menjadi sesuatu yang enggan dilaksanakan. Okelah, mungkin Anda akan beralasan menyiapkan administrasi guru. Namun administrasi guru itu kan hampir sama setiap tahun. Kalau pun harus dirombak tentu tidak 100%. Hanya beberapa saja. Kegiatan yang menambah kerjaan ya, pas mau ulangan, setelah ulangan dan mengolah nilai di akhir semester. Hanya itu, selebihnya kegiatan kita adalah sebuah rutinitas. Mengajar hal yang sam. Bukan totally hal yang baru.
    Jadi menurutku, guru itu ya harus berkreasi di bidang yang lain. Sebetulnya bidang ini juga masih ranah guru. Seorang guru itu harus dinamis, wawasan luas dan berinovasi. Kenapa dinamis? Sebab memang ilmu pengetahuan itu dinamis, selalu berkembang. Bagaimana supaya bisa berkembang? Banyak membaca, banyak melihat dan banyak mendengar.Membaca akan membuka wawasan kita. Oh, ternyata cara mengajarku salah. Oh, ternyata ada penemuan baru tentang ini. Begitu seterusnya. Dengan gemar membaca wawasan guru akan luas. Semua siswa pasti gembira manakala gurunya berwawasan luas. Dan terakhir guru harus berinovasi. Kenapa?
    Dalam kegiatan belajar mengajar, tentu guru menemui banyak kendala atau masalah. Masalah media pembelajaran, masalah anak dan masalah buku. Pasti banyak masalah. Di sinilah peran guru untuk memecahkan masalah tersebut. Entah dengan caranya sendiri atau cara orang lain terus dimodifikasi sesuai keadaan sekolah. Itu tugas guru, berinovasi. Dengan inovasi tersebut, maka masalah akan terpecahkan dan pada akhirnya pembelajaran berjalan lancar dan sukses. Nah, apa yang dilakukan guru tersebut jika ditulis akan menjadi karya tulis. Sekarang pertanyaannya, mau tidak guru tersebut menulis kegiatannya?