Selasa, 30 Juni 2015

GURU PERLU UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN



Perubahan kriteria kelulusan seorang peserta didik membuat otoritas seorang guru diakui. Yang dulunya kriteria kelulusan peserta didik hanya ditentukan oleh nilai Ujian Nasional (UN), sekarang seorang peserta didik harus menempuh 4 kriteria kelulusan. Ke-empat kriteria kelulusan peserta didik yaitu : a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran, b) berakhlak mulia dengan indikator  memperoleh nilai minimal baik untuk seluruh mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, mata pelajaran estetika dan mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan, c) lulus Ujian Sekolah dan d) lulus Ujian Nasional.
            Dari uraian di atas posisi Ujian Nasional berada paling akhir, artinya bahwa sebelum pengumuman kelulusan Ujian Nasional, peserta didik harus lulus kriteria yang lain. Sehingga peserta didik tidak akan berpersepsi bahwa setelah ia lulus Ujian Nasional maka ia telah lulus dari sekolahnya. Hal ini masih menjadi pandangan banyak peserta didik maupun orang tua peserta didik. Kejadian seorang guru yang tidak memberikan nilai yang baik terhadap seorang peserta didik baru-baru ini, yang membuat ia tidak lulus sekolah, semestinya tidak menjadi pro dan kontra di kalangan kita. Penilaian peserta didik merupakan otoritas seorang guru jadi walaupun peserta didik lulus Ujian Nasional tidak bisa otomatis peserta didik tersebut lulus dari sekolahnya. Kalau peserta didik hanya mengejar kelulusan pada Ujian Nasional, alangkah baiknya jika peserta didik tersebut masuk ke lembaga bimbingan belajar saja bukan masuk ke lembaga sekolah.
Lembaga sekolah bukan hanya mengajar tetapi sekolah juga mendidik, sehingga kita mesti appreciate terhadap para guru yang berani menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Asumsi penulis, tidak mungkin seorang guru tidak meluluskan peserta didik jika peserta didik tersebut tidak kebangetan bodohnya atau nakalnya. Jadi mari kita beri ruang terhadap para guru untuk berwibawa dan mempunyai kewenangan dalam penilaian. Selama ini guru telah dikebiri wewenangnya dengan adanya Ujian Nasional. Momen inilah yang tepat untuk menunjukkan kredibilitas, keprofesionalan dan keberanian seorang guru. Walaupun penentuan kelulusan seorang peserta didik melalui rapat Dewan Guru, tetapi pasti peserta didik atau orang tua peserta didik akan memandang guru sebagai perseorangan sehingga ini sangat riskan terhadap keselamatan guru. Peserta didik dan orang tua peserta didik akan melihat mata pelajaran apa yang membuatnya tidak lulus. Dengan melihat mata pelajaran atau guru yang mengampu secara terpisah, peserta didik dan orang tua akan mengabaikan peran rapat Dewan Guru dalam mengambil keputusan lulus atau tidak lulus seorang peserta didik. Oleh karena itu, sudah saatnya Undang-Undang Perlindungan Guru (UUPG) dibuat demi keselamatan seorang guru dalam memberikan penilaian yang semestinya.
Dengan UUPG, guru mempunyai keberanian untuk menilai peserta didik secara obyektif dan akuntabel. UUPG akan membuat para guru nyaman bekerja, berani memberikan penilaian yang semestinya dan keselamatan terjamin. Lihat saja di media Televisi, para peserta didik yang tidak lulus Ujian Nasional, mereka merusak sekolahnya dan Dinas Pendidikan setempat, apalagi jika mereka mengetahui yang tidak meluluskan adalah guru secara pribadi. Misalnya guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), guru Agama atau guru lain secara perseorangan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap para guru yang pemberani tersebut? Ketidak-siapan peserta didik atau orang tua peserta didik menerima kenyataan tidak lulus sekolah yang disebabkan oleh seorang guru, akan berakibat fatal terhadap seorang guru tersebut. Oleh karena itu, penting kiranya Undang-Undang Perlindungan Guru untuk dibuat segera.   

GURU VERSUS TV



     Kemajuan teknologi telah mebuat hidup lebih praktis dan efisien. Banyak produk kemajuan teknologi dewasa ini telah masuk ke dalam rumah kita.Salah satu prodk teknologi yang hampir semua orang punyai adalah televisi.Produk ini sangat mengesankan karena memberikan pelayanan audio visual tentang tentang informasi segala macam.Televisi yang kita punyai bisa sangat bermanfaat bagi kita dalam menyerap segala informasi.Karena televisi meyajikan dan menyiarkan berbagai program acara. Dimana acara-acara itu perlu kita seleksi untuk kita tonton.Tanpa kita pilih maka dampak yang kurang baik akan mempengaruhi jalan kita.
Banyak keuntungan yang bisa kita dapat dari broadcast televisi,namun ada juga kerugiannya.Melalui televisi kita men-download informasi dan ilmu pengetahuan.Sebab televisi merupakan alat komunikasi satu arah,maka segala komplain dan tanya jawab tidak bisa kita lakukan secara langsung.Dengan adanya pengaruh yang negatif bagi kita khususnya,anak didik kita,menyebabakan kita harus mewanti-wanti kepada siswa kita untuk memilah dan memilih acara –acara yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan jiwanya.
Rasanya tidak berlebihan bila menjadikan televisi adalah musuh bagi para pendidik.Sebab ternyata anak didik kita belum bisa memilih dan memilah acara yang berbobot bagi kehidupannya.Contohnya ;kejadian tidak kriminal ,bunuh diri,tindakan meniru olah raga berbahaya dan lain-lain.Semua contoh tersebut meupakan hasil”bimbingan”produk televisi.
   Televisi telah menjadi guru bagi anak didik kita.Telvisi telah memberi lebih mengajarnya daripada guru.Bahkan bisa sampai 24 jam non stop,televisi menjadi pengajar privat di dalam kamar,ruang tamu dan tempat-tempat yang lain. Jika guru ditandingkan dengan televisi,pasti akan kalah.Karena guru bisa jadi kurang menarik dan kurang lama dalam mempengaruhi dan mengajar kebaikan.Jadi guru perlu partner untuk memenangkan pertarungan itu.Siapa partner guru untuk melawan televisi? Partnernya yaitu para orang tua atau wali murid siswa-siswa tersebut.Tanpa bantuan orang tua dan wali murid,niscaya guru sanggup melawan pengaruh buruk yang merasuki jiwa anak anak tercinta seperti perilaku konsumtif,malas belajar dan asosial.Oleh karen itu kita perlu men-sinergiskan peran orang tua dirumah dan para pendidik disekolah.Sehingga para siswa bisa mengambil manfaat dari adanya kemajuan tersebut.

IPAD, ANAKKU DAN SERTIFIKASI



“Yah beliin Ipad, ya?” rengek anakku yang masih berumur 6 tahun. Aku kaget dan merasa heran darimana ia mengetahui Ipad segala. Nampaknya perkembangan teknologi telah merambah ke segala usia. Buktinya anakku sudah mengenal gadget yang satu ini. Kalau anakku yang masih kecil saja sudah mengenal peralatan teknologi, bagaimana dengan para peserta didik kita? Mungkin mereka lebih canggih daripada anakku. Dari kondisi yang ada ini aku tertantang untuk mengetahui lebih banyak tentang teknologi, minimal jangan sampai kalah dengan anakku. Dan yang penting juga aku jangan sampai kalah dengan para peserta didikku. Jika para peserta didi sudah bias membuat e-mail, maka aku harus dapat membuat blog dan jika peserta didikku sudah dapat membuat blog maka aku harus dapat membuat cyber class. Malu rasanya jika aku sebagai guru kurang pergaulan (kuper ) dan gagap teknologi (gaptek) dihadapan para peserta didik. Kalau sampai kalah wah..jangan-jangan mereka belajar bukan dari gurunya tetapi malah belajar dari mbah Google.
Sebagai guru saat ini, malu rasanya tertinggal informasi di sekitar kita, bukankah semua materi/ bahan pelajaran dapat kita dapatkan dari lingkungan termasuk teknologi yang tersedia di sekitar kita. Kita harus mendengar dan melihat sekeliling kita, Indonesia kita dan dunia kita. Kemudian kita dapat menghubungkan pengetahuan tentang sekeliling kita dengan mata pelajaran yang kita ajarkan. Dengan cara tersebut, informasi yang diperoleh siswa selalu actual. Apalagi jika kita para guru yang sudah sertifikasi ada baiknya tambahan gaji tersebut untuk berlangganan surat kabar (melihat sekeliling) dan membeli laptop serta berlangganan internet (melihat dunia kita). Kedua fasilitas tersebut dapat juga kita gunakan untuk menunjang pembelajaran. Dengan sarana tersebut kita dapat menyajikan materi pelajaran dengan lebih menarik dan sistematis. Kita perlu mengurangi model pembelajaran dengan ceramah dan mencatat, karena itu pasti membosankan peserta didik kita.
Mari kita sisihkan beberapa lembar uang tunjangan profesi kita untuk menambah pengetahuan melalui surat kabar dan laptop terintegrasi dengan internet untuk menjadi guru yang professional. Bukankah gaji kita naik 100%? Logikanya ika gaji kita naik 1 x lipat maka etos kerja kita juga harus naik 1 x lipat, tidak seperti biasa-biasa saja sebab gaji kita sudah luar biasa besarnya.