Jumat, 18 Agustus 2017

BARIS BERBARIS DAN MENULIS

BARIS BERBARIS DAN MENULIS

Bari berbaris di simpang lima Bejen
Saat melihat lomba baris berbaris yang begitu banyak apresiasinya padahal hanya tingkat kabupaten, duh hati menjadi sedih. Bukan apa-apa, cuma kenapa hal seperti itu, tidak berlaku di dunia tulis-menulis?

Dunia tulis-menulis yang sepi peminat bahkan saat juara tingkat nasional pun tidak dilirik. Apalagi dijadikan contoh yang baik untuk siswa yang lain. Bahkan sebagai guru, aku kesulitan merekrut siswa. Sungguh, susahnya minta ampun. Sementara menjadi pasukan baris berbaris, komandan baris berbaris atau mayoret drumb band menjadi impian setiap siswa. Apakah karena dunia tulis-menulis sepi apresiasi dan jauh dari hingar bingar? Sementara baris berbaris dan drumband jauh lebih meriah, wah dan megah? Kenapa menulis menjadi momok sehingga yang ikut ekstra pun bisa dihitung dengan jari? Itu pun akan berkurang seiring berjalannya waktu. Aku tahu menulis itu berat di pikiran, sementara baris berbaris berat di badan.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah dengan negeri ini? Katanya literasi dijalankan di setiap sekolah, lalu kenapa majalah sekolah saja tidak ada? Katanya negara menggalakkan gerakan literasi sekolah (GLS), tetapi kenapa lomba menulis untuk siswa saja tidak ada? Pernah memang dulu, dulu sekali. Ada lomba jurnalistik atau LKJS, kemudian dihapus karena ada penghematan anggran. Hello? Kalau penghematan suruh para wakil rakyat menghemat, suruh para pejabat berhemat, jangan generasi muda menjadi tumbalnya. Mungkin semua hanya proyek dan literasi itu hanya...ah entahlah, aku tidak mau mengumpat. Apalagi aku tidak mau diciduk hanya karena mengkritik pemerintah. Maafkan aku pemerintah, itu semua salah saya dan salah siswa. Kenapa siswa malas berpikir? Apakah menulis susah? Atau mereka cuma wegah? Tak tahulah.

Hal ini berbanding terbalik dengan lomba baris berbaris, pemerintah, entah pemerintah pusat maupun daerah menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Padahal hanya sekelumit. Lihatlah persiapan berhari-hari dan menghabiskan biaya yang berjeti-jeti padahal hanya untuk sehari. Ironi. Mereka yang ikut baris berbaris pun tidak pernah diberi sertifikat, yang mungkin berguna untuk melanjutkan sekolah. Namun kendala mungkin pesertanya banyak dan bukan by name, namun mereka berkelompok. Ah, itu hanya alasan. Berbeda dengan lomba tulis menulis, siapa yang juara dia mendapat sertifikat yang bisa menambah poin nilai saat mendaftar ke jenjang sekolah berikutnya. Tetapi saja menulis tidak menariknya, menulis tidak majis, yang dapat menghipnotis generasi muda keranjingan dunia menulis. Duh, mimpiku kepagian.

Oh, negeriku, ironi negari penuh sensasi dimana gerakan literasi hanya fantasi dan ilusi. Aku sedih melihat kenyataan ini, kapan negeriku menyadari, literasi pasti aksi bukan hanya basa basi