Senin, 08 Januari 2018

SUSAHNYA MENGAJAK GURU MENULIS

   
Menulis bagi sebagian orang itu hal yang mudah. Bagi sebagian yang lain susah. Apalagi tulisan yang dibuat memakai aturan yang baku. Sebab tanpa aturan atau pedoman yang baku, hampir semua orang bisa menulis. Buktinya banyak orang begitu mudah status. Begitu mudah komen, baik dalam group WA atau dalam sosial media yang lain. Begitu mudah, lancar dan bisa berpanjang-panjang. Tetapi ketika diminta menulis dengann tema tertentu dan aturan tertentu. Mati, sunyi dan berhenti.
   Tidak banyak guru yang mau repot-repot menulis. Sedikit guru yang mau berguru kepada para ahlinya atau penulis.Pun jarang seorang guru yang rela membayar guna mendapatkan ilmu menulis. Bukan bermaksud menyudutkan atau menyalahkan guru. Namun banyak kasus guru hanya mengejar sertifikat. Tanpa sertifikat workshop atau pelatihan akan sepi peminat. Sebab memang sertifikat itu penting untuk guru, minimal digunakan dalam SKP (Sasaran Kinerja Pegawai). Di samping itu, bisa juga digunakan untuk kenaikan PAK (Penilaian Angka Kredit). Begitulah kenyataannya, mau diakui atau tidak.
    Pernah saya membuat sebuah forum atau bisa disebut event organiser (EO). Tujuan event organiser itu jelas membuat event. Namun event seperti apa? Tentu bukan event konser atau pertandingan, bukan. EO yang kubentuk itu mengadakan kegiatan tulis menulis. Sesuai namanya FPPG (Forum Peduli Profesi Guru) maka event-nya tentu kegiatan guru. Pada event yang pertama, cukup banyak peminatnya, sekitar 150 orang. Kurang lebih sebanyak itu sebab banyak teman penulis di sekolah yang ikut. Jadi teman-teman itu membuat event tersebut terlihat banyak dan ramai. Event berjalan lancar dan sukses sebab memang kontribusi yang kami minta tidak banyak. Hanya Rp50.000 rupiah dengan berbagai fasilitas, termasuk sertifikat.
    Dengan uang lima ribu rupiah mereka sudah mendapat snack, makan siang, modul, ilmu dan sertifikat. Ah, pokoknya banyak yang mereka dapat. Mungkin itu yang membuat peserta cukup banyak. Apalagi sertifikat ditanda tangani oleh kepala dinas kabupaten, lengkap sudah fasilitasnya. Mungkin kalau 'hanya' tanda tangan penyelenggara kurang prestisius. Namun tersebab ditanda-tangani kepala dinas, semakin mantaplah para peserta workshop. Oiya saat itu aku juga mengajak kerjasama dengan organisasi guru terbesar di Indonesia. Walaupun yang kuajak kerjasama hanya tingkat kabupatennya. Alhamdulillah menambah meriah pesertanya.
    Saat itu banyak faktor yang membuat sebuah workshop bisa meriah dan ramai. Salah satunya kontribusi yang murah. Mungkin kalau aku naikkan lagi menjadi Rp500.000 atau lebih bisa jadi pesertanya sedikit. Memang menulis itu butuh semangat dan dana. Saat semangat ada dan dana tidak ada, pasti akan mencari. Bagaimana caranya mengikuti workshop menulis. Berbeda dengan dana tersedia tetapi semangat tidak ada, pasti tidak ikut. Apalagi kalau sampai hitung-hitungan, nanti aku dapat apa? Rugi tidak? dan lain sebagainya. Itulah yang menghambat guru berkembang dan maju. Kalau begitu wajar dong kalau guru masih mentok di golongan itu-itu saja.
    Sebab memang untuk kenaikan jabatan diharuskan setiap guru menulis. Minimal golongan IIIb sudah diwajibkan menulis. Nah, menulis yang dimaksud dalam aturan tersebut adalah menulis dengan pedoman tertentu. Bukan menulis status atau menulis di media sosial. Sebab menulis status atau postingan lain tentu 'hanya' curahan emosi di saat itu. Bisa jadi itu tidak permanen dan hanya luapan perasaan sesaat. Namun di saat menulis hal yang serius, hal yang lebih bermanfaat bagi orang lain, ceritanya akan berbeda. Akan terasa berat, sulit dan melelahkan. Bagi banyak orang itu hal yang merepotkan, jadi untuk apa repot-repot? Begitu pikirnya.
    Lebih parah lagi, iming-iming tambahan gaji bagi golongan di atasnya kurang menggiurkan. Berapa sih tambahan gaji untuk golongan atas? Tidak banyak. Malah kalau Anda sudah golongan IV, potongan pajaknya lebih banyak. Jadi nanti akan banyak potongan di setiap kegiatan kedinasan. Itu juga menurunkan minat dan motivasi guru naik pangkat. Sudah syarat susah (harus menulis), tambahan gaji sedikit masih ada potongan pajak yang lebih besar. Lengkap sudah alasan guru untuk berkreasi, inovasi dan berkarya. Untung apa repot-repot kalau gaji yang sekarang sudah cukup. Ditambah tunjangan sertifikasi yang rutin diterima. Yang penting mengajar 24 jam per minggu, tunjangan sertifikasi lancar mengalir ke rekening. 
    Ini mungkin aib dan juga naif namun begitu kejadiannya. Anda boleh mendebat tulisan ini. Namun memang begitu fakta di lapangan. Guru terlalu nyaman dalam zonanya. Guru sudah terbiasa dengan hal-hal yang enak dan melenakan. Sehingga kerepotan sedikit (baca menulis) menjadi sesuatu yang enggan dilaksanakan. Okelah, mungkin Anda akan beralasan menyiapkan administrasi guru. Namun administrasi guru itu kan hampir sama setiap tahun. Kalau pun harus dirombak tentu tidak 100%. Hanya beberapa saja. Kegiatan yang menambah kerjaan ya, pas mau ulangan, setelah ulangan dan mengolah nilai di akhir semester. Hanya itu, selebihnya kegiatan kita adalah sebuah rutinitas. Mengajar hal yang sam. Bukan totally hal yang baru.
    Jadi menurutku, guru itu ya harus berkreasi di bidang yang lain. Sebetulnya bidang ini juga masih ranah guru. Seorang guru itu harus dinamis, wawasan luas dan berinovasi. Kenapa dinamis? Sebab memang ilmu pengetahuan itu dinamis, selalu berkembang. Bagaimana supaya bisa berkembang? Banyak membaca, banyak melihat dan banyak mendengar.Membaca akan membuka wawasan kita. Oh, ternyata cara mengajarku salah. Oh, ternyata ada penemuan baru tentang ini. Begitu seterusnya. Dengan gemar membaca wawasan guru akan luas. Semua siswa pasti gembira manakala gurunya berwawasan luas. Dan terakhir guru harus berinovasi. Kenapa?
    Dalam kegiatan belajar mengajar, tentu guru menemui banyak kendala atau masalah. Masalah media pembelajaran, masalah anak dan masalah buku. Pasti banyak masalah. Di sinilah peran guru untuk memecahkan masalah tersebut. Entah dengan caranya sendiri atau cara orang lain terus dimodifikasi sesuai keadaan sekolah. Itu tugas guru, berinovasi. Dengan inovasi tersebut, maka masalah akan terpecahkan dan pada akhirnya pembelajaran berjalan lancar dan sukses. Nah, apa yang dilakukan guru tersebut jika ditulis akan menjadi karya tulis. Sekarang pertanyaannya, mau tidak guru tersebut menulis kegiatannya?

Jumat, 05 Januari 2018

LOLOS CIPTA PUISI SE-ASEAN #2

   
    Enggak nyangka saja, bisa lolos di lingkup yang lebih luas. Walaupun untuk lomba cipta puisi ini juga sering ikut sih. Modelnya sih kirim, lupakan. Sebab terlalu banyak lomba yang aku ikuti. Malah lomba yang ini pun, tingkat Asean ini aku lupa pernah kirim. Untung ada seorang teman yang ikut lomba, melihat namaku ada diantara 100 peserta yang lolos. Namun sayang temanku itu tidak lolos. Kasihan sih. 

     "Pak, selamat ya. Puisi njenengan lolos." Begitu katanya.
     "Oiya, Pak. Aku wis lali pernah kirim ini. Makasih infonya," jawabku.
     "Sayangnya, puisiku tidak lolos," katanya lagi.
     "Ya, besok dicoba lagi, Pak," ucapku sok bijaksana. 

    Bagiku lolos itu sudah suatu anugerah sih, minimal motivasi menulis on terus. Sebab apa? Sebab selalu ada hasil, selalu ada kebaikan dan selalu ada pengumuman. Apalagi ini yang mengadakan IAIN Purwokerta, sebuah universitas di Jawa Tengah. Tersebab universitas tentu seleksinya tidak main-main. Apalagi saat aku melihat para dewan juri, beuh banyak banget. Malah ada yang berasal dari Thailand. Mau tahu puisiku seperti apa? Entar deh diakhir tulisan ini.

    Kalau kau anggap puisiku biasa saja, ya sudah berarti dewan juri pada khilaf waktu menilai puisiku. :D Namun yang aku suka dari lomba ini adalah setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu karya. Apa artinya? Artinya peserta itu dibatasi, tidak boleh ngirim banyak. Jadi puisi yang terbaiklah yang akan dikirim para peserta. Tidak semua puisi dikirimkan. Kalau seperti itu bisa jadi satu peserta mengirim 5 (lima) bahkan lebih puisi. Denger-denger yang mengirimkan ke panitia itu ribuan. Wow kan? Jadi kalau puisimu lolos, tentu ikut yang terbaik bukan? Iya, aja deh.
    
   Sebenarnya aku mempunyai banyak puisi, lebih dari 70 puisi. Kemaren rencana mau kukumpulkan. Kemudian aku kirimkan ke penerbit, ya penerbit Indie tentu saja. Kalau ke penerbit mayor, apalah aku ini dibidang puisi, belum kelasnya WS Rendra, Taufik Ismail dan penyair lain sekaliber mereka. Namun ada keinginan ke sana. Menjadi penyair handal dan diperhitungkan. Jiah. Oiya, hampir lupa. Lomba ini tidak dipungut apa-apa, alias gratis. Dan itu sangat aku favoritkan kalau ada lomba kok gratis. Kalau gratis artinya panitia sudah mempunyai stock dana dan hadiah yang cukup. Tidak perlu mencari sponsor atau menarik uang pendaftaran ke peserta.
    
    Namun sayangnya, lomba ini tidak langsung diumumkan juara 1, 2, dan 3 nya. Kita ada undangan ke IAIN Purwokerto untuk mengikuti seremonial dan launching buku tersebut. Bagus sih, namun kok jauh ya? Iya kalau menang dapat sangu pulang, kalau enggak? Eh, menang dan kalah nomor sekian ding. Lupa. Yang jelas tidak punya waktu untuk ke sana, kan jauh. Butuh empat jam perjalanan dari rumah ke tempat lomba. Akhir kata, apa pun dan siapa pun yang menang, semoga memang layak dan pantas untuk menjadi juara. Terimakasih telah meloloskan aku. 
    Betewe ini puisiku ya? 
MASA DEPAN KITA

Ayo berkumpul, berbaris dan berlapis
Mari merapat dan melompat menggapai derajat
Bersama mengurai masalah
Bersama menjawab gelisah

            Hai, kreator masa depan
            Ayo ciptakan Indonesai yang nyaman
            Setiap jiwa makin berkecukupan
            Setiap anak dapat mencercah pendidikan

Indonesia hanya butuh jiwa
Sebab orang pandai sudah berjuta-juta
Indonesia hanya butuh seni
Sehingga Indonesia indah berseri
Denganmu dahagaku sirna
Bersamamu terjawab semua tanyaku

   Bagus kan? Iya kan? Kan? Anggap saja iya. Buatlah hati ini bangga dan berseri-seri dengan menjawab iya bagus. #Maksa
    

Kamis, 04 Januari 2018

TANTANGAN PENULIS (1)

    Tantangan penulis sebenarnya banyak . Namun sekarang yang mau kita bicarakan adalah tantangan pertama tentang keluarga. Banyak penulis yang mengeluh tidak bisa menulis, tidak bisa ikut forum menulis dan tidak bisa workshop menulis gara-gara keluarga. Selalu beralasan, anaknya banyak, anaknya sering mengganggu dan tidak ada yang momong. Okelah, fix itu untuk ibu-ibu kan? Bahkan ada yang bilang jangan kan nulis, untuk buka WA saja tidak sempat. Duh.
    Kalau seperti itu serasa bahwa hidupnya habis untu ngurusi keluarga. Apa benar segawat itu? Apa iya tidak mempunyai waktu? Baiklah kita tidak perlu berdebat tentang itu. Aku mau mengisahkan tentang teman penulis. Dia seorang ibu, mempunyai anak dan suami, anaknya dua masih kecil-kecil, guru juga, apalagi ya? Oiya, dia membuka kelas menulis. Tuh, kurang sibu apa dia? Namun dia bisa membagi waktu. Bahkan dia produktif dalam menulis. Buku-bukunya hampir tiap bulan terbit. Malah naskah ada yang ngantri di penerbit. Hm, masih jadi masalah tentang keluarga.
    Tetapi mungkin keluarganya mendukung? Iya sih, keluarganya mendukung. Dan aku yakin tanpa dukungan keluarga atau pasangan kita sulit untuk melakukan itu. Sekarang aku mau tanya, sebagai pasangan, yang saling mencintai, apa iya bila salah satu pasangan mempunyai hobby atau kesenangan, pasangan lainnya tidak mendukung? Lalu kadar cinta itu sampai mana? Bukankah orang yang saling mencintai, menyayangi itu menerima dalam keadaan suka dan duka? Di saat pasangan kita menyukai sesuatu, harusnya idealnya pasangannya mendukung. 
     Mendukung itu tidak harus memberi uang, fasilitas atau apa. Cukup mendukung itu membiarkan, tidak menganggu. Kalau level di atasnya, mendukung itu mengantar ke tempat tujuan, tempat yang disukai pasangan kita. Itu mendukung. Tinggal komunikasi saja sih antara pasangan satu dengan yang lainnya. Kalau Anda seorang wanita dan suami Anda gemar memancing atau main sepakbola maka biarkan dia menekuni kegemaran tersebut. Kalau tidak bisa dan tidak suka dengan dua kegiatan tersebut, ya sudah biarkan saja. Tidak perlu dihalang-halangi. Yang penting tugas atau kewajiban seorang suami tidak ditinggalkan. Begitu pun sebaliknya.
     Perempuan boleh berkarier, perempuan boleh berkembang di luar tapi tetap kodrat wanita, tugas wanita tidak boleh diabaikan. Jadi kalau Anda wanita dan suka menulis, plis komunikasikan dengan suami. Apa agenda Anda, apa acara Anda dan apa yang akan Anda lakukan. Bila semua dikomunikasikan Insha Allah bisa berjalan dengan baik dan harmonis. Lalu bagaimana dengan anak? Apakah anak menjadi penghalang? Bila anak masih kecil, maka Anda harus mengalah dan berjuang. Menulislah di kala anak Anda sudah tidur. Apa itu bisa? Bisa banget. Tinggal tanya diri Anda sekuat apa semangat Anda. Sebab banyak orang yang KO oleh rasa kantuk, rasa capek dan rasa malas. Sehingga ya sudah di saat anak Anda tidur, Anda ikut tidur. Menulisnya kapan? Ya, kapan-kapan.
    Berbeda lagi dengan contoh berikut. Seorang ibu-ibu, dia bekerja, guru juga, mempunyai anak dan suami tetap semangatnya luar biasa. Di saat ada workshop penulisan dia selalu ikut. Biar di kata jaraknya jauh dia tempuh. Di kata alamatnya tidak jelas, dia tanya. Pokoknya dia mempunyai semangat yang membara. Dan jarak atau lokasi tidak masalah, toh sudah ada google map kan? Lagian bisa juga minta alamat kepada penyelenggara, terus cari sendiri dan tanya kanan kiri. Ah, kalau niat, nekad dan semangat pasti dapat.
    Ibu itu mempunyai anak yang masih kecil. Itu pun tidak menjadi penghalang bagi dirinya. Malah anaknya diajaknya dalam komunitas itu. Diajaknya anak tersebut dalam workshop tersebut. Jadi di saat dia upgrade tentang ilmu penulisan, dia sekalian momong anak. Hebat bukan? Di saat orang lain beralasan mempunyai anak kecil, dia sudah memecahkan masalahnya. Anak bukan penghalang. Itu malah menjadi tantangan sebesar apa niat untuk mampu menulis. Dan aku salut dengan orang-orang seperti itu.
    Mungkin saja ilmu yang diserap ibu itu tidak banyak, sebab dia membawa anak. Tetapi sedikit apa pun masih lumayan daripada di rumah. Di rumah kita tidak bisa berkembang, apalagi dalam dunia tulis menulis. Kita butuh orang lain untuk berkembang. Entah itu informasi dari teman tentang penulisan, informasi tentang penerbit dan juga informasi tentang penawaran naskah. Yang jelas tidak ada ruginya kalau berkumpul dengan orang-orang yang sehobi. Kalau suami minta pergi ke mana? Ajak saja suami dalam acara tersebut. Siapa tahu dia suka.
     Aku pernah bertanya kepada ibu itu, "Bu, suami tidak marah ibu ikut acara seperti ini?"
     Kemudian dia menjawab, "Tidak Pak. Suamiku marah kalau aku lupa pekerjaan rumah. Saat pekerjaan sebagai istri dilaksanakan, apa pun kegiatanku dia mendukung."
     Mantap. Begitulah sebuah pasangan saling take and give, saling memberi dan menerima. Saling mendukung, wong namanya cinta itu ya mencintai juga apa yang dicintai pasangan kita. Jangan malah marah-marah tidak jelas. 
    Kalau tidak suka ya sudah, yang penting jangan dihalang-halangi. Toh, tidak ada ruginya kan mengikuti acara-acara seperti itu? Menurutuku itu tantangan seorang penulis; mengatasi masalah yang paling dekat. Anak-anak dan pasangan hidupnya. Kalau kedua komponen itu tidak masalah, kok Anda belum menulis, maka yang menjadi masalah adalah Anda. Anda tidak mempunyai keinginan menjadi penulis. Anda malas dan Anda tidak mau berkembang. Itu masalah besar.

Rabu, 03 Januari 2018

MENULIS BUKU ANAK (1)

   
   Menulis buku bukan barang baru bagiku. #Halah. Eh, maksudnya menulis buku dewasa, semacam artikel atau cerita pendek gitu. Namun menulis buku anak ini beda. Sangat jauh beda. Dan aku beruntung pernah tercemplung dalam dunia anak, eh menulis buku anak. 
     Awal menulis buku anak bermula dari adanya lowongan partner menulis dari penulis buku anak. Dia, sebut saja Mas Redy Kuswanto (nama sebenarnya) mencari partner buku anak. Berhubung aku tuh orang yang gemar mencari lomba. Aku menyebut diriku itu Championship Hunter (pemburu kejuaraan). Di mana ada perlombaan, di situlah ada aku. Ya, minimal kalau aku mampu aku berusaha untuk ikut. Kalau tidak mampu biasanya aku akan up grade dengan mbah gugel atau tanya beberapa ahli. Atau orang yang pernah ikut lomba tersebut.
     Ya, pokoknya hampir setiap lomba aku ikut. Bahkan di kalender rumah, banyak corat-coretannya. Itu tandanya deadline suatu lomba. Dengan menuliskan, aku akan selalu lihat dan selalu ingat. Maka bila waktu mengizinkan dan sempat, pasti aku ikut. Jadi bukan suka atau tidak suka, selama itu mampu waktu, aku pasti ikut. Bagaimana kalau tidak mampu dengan jenis lombanya? Aku akan belajar dan mencaritahu. 
      Sebagai contoh, aku pernah ikut lomba membuat naskah skenario film pendek remaja. Dan tanpa banyak belajar dari orang, serius waktu itu aku belajar hanya dari gugel. Aku dapat lolos dan menjadi finalis di sana. Aku diundang ke Bali selama 5 (lima) hari dan mendapat satu laptop. Itu artinya kemampuan itu bisa kita gali. Dan yang lebih penting lagi kita berani mencoba. Soal menang kalah, lolos tidak itu, urusan nanti. Begitu pun untuk lomba-lomba yang lain.
      Aku juga pernah ikut lomba menulis lagu anak. Yah, namanya iseng-iseng berhadiah. Apa salahnya kalau dicoba. Enggak salah sih. Karena enggak salah maka aku coba. Syair sudah ditulis. Ritme atau irama lagu sudah dapat, tinggal not balok. Waktu itu aku tidak bisa membuat not balok. Akhirnya meminta pertolongan teman yang bisa menulis not balok. Akhirnya bisa jadi juga not balok tersebut. Tetapi masih ada kendala lagi, bagaimana dengan rekaman lagu tersebut.
         Bukankah tidak mungkin aku serahkan rekaman lagu dengan musik ala kadarnya. Aku memang bisa bermain gitar namun tidak secanggih Dewa Bujana atau AXL Rose. :D Aku bisa main gitarnya ya masih standar saja sih. Oleh karena itu, agar rekaman lagu itu terdengar merdu maka carilah aku, teman yang bisa main alat musik. Dapatlah seorang teman yang bisa memainkan keyboard, tepatnya organ tunggal. Maka aku minta tolong dia, untuk merekamkan lagu instrumentalia laguku tersebut. Tentu saja setelah kukirimkan not balok.
       Dan apa yang terjadi? Laguku tidak lolos dalam lomba tersebut. Padahal aku sudah berjuang mati-matian dan mengerahkan seluruh energi dan kemampuan. Tetapi memang mungkin bukan rezekiku. Akhirnya aku terima kekalahanku tersebut. Kemudian menjalani hidup seperti biasa. Aku sudah biasa tertolak, tidak lolos dan tidak menang, jadi kalau cuma tidak lolos itu sudah khatam. No galau no risau. Kalah coba lagi, tidak menang, ikut lagi.
       Berbeda dengan dua kisahku di atas, dalam seleksi menulis buku anak, aku lolos. Mas Redy mengumumkan aku sebagai yang terpilih. Betapa bahagia hatiku. Belajar dari pakar anak, eh pakar cerita anak. Ibaratnya aku yang masih newbie di penulisan cerita anak, langsung dapat mastah yang kelibernya nasional. Duh, berat. Namun aku harus berusaha keras. Setelah pengumuman tersebut, aku diajak pertemuan. Kalau tidak salah ingat dua atau tiga untuk membahas konsep buku.
       Kebetulan buku yang mau ditulis lebih komplek. Jadi ceritanya dalam satu judul besar menjadi tiga cerita. Wow. Misalnya nih cerita tentang burung, maka akan dibuat tiga versi. Versi pertama, cerita unik dari burung itu. Fakta unik dari burung itu. Versi kedua tentang burung di zaman nabi. Dan versi ketiga cerita rekaan atau imajinasi tentang burung tersebut. Aku harus membuat dua cerita tersebut, fakta unik binatang dan binatang di zaman nabi. Luar biasa.
      Sebagai pendatang baru aku harus bisa mengimbangi Mas Redy, minimal mengimbangi kecepatan menulis. Kalau soal benar salah, masuk akal atau tidak nanti akan dibetulkan beliau. Ibaratnya aku ini seorang pengrajin kayu. Aku memotong dan membentuk. Kemudian Mas Redy memperhalus dan memberi pernis kemudian dicat. Beliaulah yang membuat cerita itu menjaid asik dan menarik bagi anak-anak. Sementara aku masih belajar lagi tentang dunia tulis menulis buku anak.
         Beruntungnya aku mempunyai anak-anak yang masih kecil. Kadang aku bertanya kepada anakku yang palng besar. Dialah editor pertamaku. Setelah aku selesai menulis, aku biasanya memberikan naskah tersebut kepadanya. Dia biasanya membaca dan memberi komentar. Itu sangat menguntungkan bagiku. Bukankah bukuku nanti dibaca oleh anak-anak juga. Jadi tidak ada salahnya kalau anakku menjadi editor pertamaku. Ya, walaupun kadang mereka minta bayaran. Tidak apa-apa. Toh aku bilang kalau aku memberi bayaran saat naskah itu menjadi buku. Kemudian mendapat royalti. Lagian murah membayar dia, hanya lima ribu rupian per cerita.
       Begitulah lika-likuku menjadi penulis buku anak. Mungkin hanya sekelumit dan semoga bermanfaat bagi pembaca. Khususnya bagi diriku sendiri dulu sih. Yang jelas mulai saat ini aku lebih care dengan buku-buku anak, dunia anak-anak dan anakku. Hal yang paling menarik menulis buku anak adalah aku dan anakku bisa berkolaborasi membaca dan diskusi tentang cerita anak. Bukankah cerita anak bisa menyatukan duniaku dengan dunia anak? Nahm disitulah aku feel home.