Kamis, 11 Januari 2018

SABU-SABU RESOLUSIKU

Jangan berpikiran negatif dahulu. Sabu-sabu yang kumaksud adalah satu bulan satu buku. Ya, aku menargetkan diri dalam satu bulan bisa menulis satu buku. Berat ya? Jelas. Tetapi kalau tidak berat namanya bukan target, namanya bukan resolusi. Menurutku ya kalau mau berkembang kita harus memaksa diri. Memaksimalkan diri. Mengeluarkan kemampuan kita yang tersembunyi. Jangan manja dan banyak alasan. Lalu bagaimana caranya mengeluarkan kemampuan yang tersembunyi? Menurutku ya, salah satunya mem-puss diri kita. Sejauh mana kita mampu. Seberapa besar tekad kita. Dan seberapa besar kompetensi kita. Begitulah aku.

Pernah membaca buku The Power Of Kepepet? Dalam buku tersebut disebutkan bahwa kekuatan kita akan muncul dan maksimal saat kita kepepet, saat kita terdesak. Nah, pas kita terdesak maka alam bawah sadar kita akan memerintah untuk menyelesaikan. Alam bawah sadar memerintah otak dan otak menyuruh seluruh anggota tubuh bergerak. Kemudian berkreasi dan berkarya. Mungkin saat kita menulis, keringat dingin keluar. Mungkin hati kita berdebar-debar kencang. Degup jantung berdetak semakin cepat. Namun itulah saat kemampuan keluar. Dan akhirnya jadi juga karya kita.

Hal ini tidak hanya dialami satu dua orang saja. Namun banyak orang melakukannya. Saat mereka mengikuti sebuah lomba atau kompetisi, mereka mengirim belakangan. Para peserta lomba biasanya mengirim pada saat-saat terakhir (deadline). Tidak salahnya dengan hal tersebut. Memang gaya mereka seperti itu, bisa berkarya di detik-detik terakhir. Dan hasilnya, tidak kalah dengan peserta yang lain. Itulah kehebatan kekuatan kepepet. Saat mereka kepepet, mereka benar-benar bisa mendorong diri secara maksimal. Serasa ada kekuatan dasyat yang membantu deadliner tersebut.

Kembali ke resolusiku, aku juga ingin memaksa diri menulis buku. Dengan target sebulan menulis satu buku, Insha Allah bisa terlaksana. Minimal sejak awal tahun ini, sudah pasang target tersebut. Aku yakin dan percaya mampu mewujudkan hal tersebut. Kuncinya hanya satu, rajin menulis. Menulis setiap hari, di kala senggang dan sempit. Selalu sempatkan diri menulis beberapa lembar setiap lembar. Aku bisa memanfaatkan fasilitas yang ada. Bisa menulis melalui buku, laptop atau HP. Semua fasilitas tersebut bisa kita gunakan kapan pun dan di mana pun.

Apalagi gadget seperti HP atau Ipad, wah itu teknologi yang sangat membantu. Kita bisa menulis di Ipad atau HP kita jika tidak sempat. Waktu yang sempit dan repot, bisa kita akali dengan menulis menggunakan HP kita. Memang sih tidak bisa menulis berpanjang-panjang. Sebab kalau panjang, mungkin tangan kita akan capek dan loading lama. Maka kita bisa mengakali dengan menulis yang pendek-pendek atau sekadar outline saja. Dengan begitu, saat di rumah dan bisa menggunakan laptop kita bisa tuangkan di situ. Kita bisa tambah dan kembangkan outline tersebut.

Itulah cara kita memaksimalkan gadget yang kita miliki. Jadi gadget jangan hanya digunakan sebagai gaya-gayaan atau life style. Gadget itu ya kalau bisa mendukung aktivitas kita atau mendukung kerjaan kita. Sukur-sukur menjadi alat utama dalam menjalankan tugas kita. Salah satunya ya untuk menulis tersebut. Sehingga di samping sebagai alat komunikasi, gadget bisa menjadi alat menulis. Alat tulis yang fleksibel dibawa ke mana saja. Tidak terbatas dan tidak ribet. Jelas berbeda dengan laptop atau buku tulis. Gadget lebih multi tasking. Gadget bisa lebih banyak pilihan dalam penggunaannya.

Aku pun begitu memanfaatkan HP untuk menulis. Apa yang tebersit dalam pikiran langsung kutulis lewat HP. Beberapa karya tulis kuposting di media sosial. Kadang di Instagram dan kadang di Facebook. Kedua media sosial itulah sebagai sarana aku menyimpan ide-ide yang melintas. Lintasan ide dan gagasan harus segera ditulis sebab bila tertunda maka ide bisa berkurang atau lenyap. Beberapa kali aku membiarkan ide terlintas dan saat mau ditulis ternyata sudah banyak berubah. Awalnya ide itu mengalir dan tampak bagus. Namun saat tertunda dan ditulis lagi menjadi hambar dan ada yang terlupa. Makanya sekarang setiap ada ide muncul, langsung aku tulis.

Dan bila postingan-postingan yang ada media sosial itu aku kumpulkan dan kembangan, pasti akan menjadi buku. Ide yang masih fresh dan sesuai dengan keadaan pada saat itu, sungguh sangat mengasikkan. Setelah dapat banyak postingan yang sejenis dan banyak, aku tinggal mengumpulkan. Kemudian aku tinggal menambah bagian awal sebuah buku (cover, kata pengantar, daftar isi) dan daftar pustaka. Setelah itu, aku bisa menerbitkan naskah tersebut. Tidak peduli, apakah diterbitkan di penerbit mayor atau penerbit indie. Yang jelas naskah tersebut bisa dibukukan.

Entah itu buku solo, buku duet atau buku antologi. Pokoknya satu buku setiap bulan. Aku percaya kalau aku niat dan berusaha pasti bisa. Perhitungan sederhanaku dalam sebulan ada 30 hari. Kalau kita menulis setiap hari 5 lembar maka akan dapat 150 lembar. Jumlah 150 lembar cukup untuk dibuat sebuah buku yang agak tebal. Kalau misalnya tidak bisa menulis 5 halaman, bisa diturunkan misalnya 3 lembar. Maka nominal halaman yang dihasilkan adalah 90 halaman. Itu pun cukup untuk dijadikan buku. So, mau alasan apalagi? Tinggal kita niat atau tidak, bukan?

Lalu bagaimana dengan jenis tulisan? Nah, itu bisa kita spesifikasi sendiri sih. Apa kegemaran kita? Kita suka menulis apa? Sebab banyak jenis tulisan juga. Ada puisi, cerpen, novel, artikel, esai dan lain sebagainya. Bahkan kita bisa menulis kumpulan quote atau kata-kata bijaksana karya kita sendiri. Itu lebih simpel dan mudah. Jadi menulis itu tidak sulit kan? Setidaknya menulis dengan versi kita, menulis secara bebas. Tidak perlu dengarkan orang lain, yang penting adalah originalitas tulisan kita. Selama itu tulisan kita kenapa harus malu, kenapa harus ragu. Hajar saja.

Bagaimana denganku? Aku suka berbagai jenis tulisan. Aku bisa menulis puisi walaupun mungkin kurang bagus. Aku mampu menulis cerpen biarpun kurang greget. Aku bisa menulis artikel dan esai juga. Jadi tinggal pilih sih, bulan ini mau nulis apa. Atau bisa juga semua digabung dan dikombinasikan. Artinya sebulan menulis dua sekalian. Sehingga dalam dua bulan langsung dapat dua buku. Misalnya gini, bulan januari menulis cerpen dan puisi. Itu kan belum selesai maka dilanjut di bulan Pebruari. Sehingga pada bulan Pebruari, kita mendapat dua naskah buku puisi dan cerpen.

Untuk mempermudah ya menulis sesuka kita. sesuai selera kita. Tidak perlu harus nulis ini dan itu dulu. Toh, kita baru belajar menulis. Latihan dulu, latihan lagi dan latihan lagi. nanti lama-lama akan mahir. Bukankah menulis itu sebuah keterampilan, bukan sebuah bakat? Lebih mudah lagi, kita menulis semerdeka kita dan memulai dari sekitar kita. Ditambah hal-hal yang dekat dengan kita. Pas deh. Tulisan itu akan mengalir dan lebih menarik serta hidup. Sebab mengangkat sekitar kita sehingga kita dapat mencurahkan dengan bebas dan menjiwai. Itu menurutku sih.

Setelah menulis lancar ya tinggal diterbitkan saja. Tinggal pilih, mau penerbit apa? Kalau misal tidak bisa terbit di penerbit mayor, ya sudah terbitkan sendiri. Toh, banyak penerbit indie yang memberikan kemudahan dan promosi. Kita bisa memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan penerbit tersebut. Tinggal bayar sesuai berapa banyak jumlah buku yang kita inginkan, plus fasilitas tersebut yang diberikan penerbit. Sebab semakin komplit fasilitas yang diberikan penerbit maka akan biaya semakin mahal. Kalau tidak mau rugi ya, buku tersebut dijual kepada teman dan orang lain. Pasti deh, modal akan kembali. Dan aku sudah membuktikan hal tersebut.

Sekarang yang harus kujaga adalah konsisten dan kontinuitas. Sebulan terbit satu buku. Begitu seterusnya sampai jumlah buku yang kutulis melampai usiaku. Paling tidak setiap tahun usiaku terwakili dengan lahirnya sebuah buku. Bukan hanya dirayakan dengan pesta ulang tahun. Namun juga perayaan pesta buku. Kalau orang lain bisa menulis buku dan produktif, aku juga bisa. Kalau kelasnya belum semahir dia atau belum seproduktif dia, minimal aku sudah mengambil jalan yang benar.

Itulah targetku di tahun 2018 ini. Sabu-sabu merupakan target jangka pendek. Ada dua lagi targetku yaitu target jangka menengah dan target jangka panjang. Target menengahku adalah membeli tanah di belakang rumah. Entah kapan bisa terwujud tetapi itu sudah masuk dalam targetku. Sekarang baru merintis dan mengumpulkan dana untuk membeli. Dengan tanah di belakang rumah maka banyak yang bisa kulakukan. Aku bisa membuat Taman Baca Masyarakat (TBM).

TBM ini akan aku manfaatkan untuk berbakti kepada masyarakat sekitar. Paling tidak anak-anak dan masyarakat sekitar bisa membaca buku di rumah. Mereka tidak perlu pergi jauh-jauh untuk membaca buku dan mencari ilmu. Aku bisa menyediakan buku sebab stock buku di rumah juga banyak. Ada buku anak, buku dewasa dan buku pelajaran. Hampir komplit untuk bacaan masyarakat. Kalau pun nanti kurang koleksinya, aku bisa mengajak kerjasama dengan perpustakaan daerah.

Siapa tahu mereka bersedia datang pada hari-hari tertentu. Kemudian meminjamkan bukunya. Dan itu terjadi di TBMku. Dengan TBM tersebut aku berharap menambah pahala dan baktiku kepada lingkungan sekitar. Tidak itu saja sih rencana. Maksudku bukan sekadar TBM yang melayani pinjam meminjam buku, namun lebih dari itu. Aku juga ingin berbagi ilmu kepada mereka. Memberikan pelatihan kepada mereka. Pelatihan baik bagi anak-anak maupun orang tua.

Kalau anak-anak ya tergantung usia mereka. Kalau masih kecil (PAUD/kelas 1-3 SD) kita bisa melakukan pelatihan mewarnai atau menggambar. Bukan aku yang membimbing tetapi aku bisa meminta teman guru menggambar. Dengan bantuan teman maka tidak diperlukan budget yang besar. Sebab aku pun tidak menarik bayaran kepada warga sekitar. Rasanya senang sekali saat melihat mereka asik membaca buku. Rumahku terlihat lebih hidup dan meriah. Mereka dengan antusias memilih-milih buku di rak. Kemudian membalik-balik lembar demi lembar.

Ada juga yang anak yang lebih besar mengobrol. Namun yang mereka bicarakan bukan soal kegiatan mereka. Atau tempat ke mana mereka akan pergi. Mereka sedang berdiskusi, saling tukar menukar gagasan. Mereka mendiskusikan tentang isi buku, tentang ide dalam buku. Sebab isi buku penting bagi mereka. Kemudian di hari-hari yang lain, aku mengadakan bimbingan belajar. Bimbingan belajar bahasa Inggris, Matematika atau mata pelajaran yang lain. Mereka bisa datang pada jam dan waktu-waktu yang sudah terjadwal. Aku usahakan juga bahwa semuanya gratis, tidak dipungut uang sepeserpun.

Itu untuk anak-anak yang fokus ke mata pelajaran di sekolah. Terus waktu yang lain bisa juga diisi dengan pelatihan menulis, berpidato, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Intinya kalau sudah mempunyai tempat yang cocok yaitu belakang rumah, Isha Allah semua akan mudah. Setidaknya ada yang mengawasi TBM tersebut. Aku yakin banyak orang-orang yang mau membantuku, tanpa dipungut uang sepeser pun. Terus kalau anak-anak membaca buku maka orangtua (ibu-ibu) kita latih membuat kerajinan tangan. Bisa kerajinan daur ulang  atau masak memasak. Eh, kalau masak memasak enggak saja. Sebab terlalu melebar ke mana-mana. Mending membaca buku cara memasak saja yang lebih simpel dan praktis. Kalau memasak kok terasa agak mengganggu tujuan utama yaitu membaca.

Sering sih aku membayangkan, TBM itu berdiri. Terus aku menangani TBM itu dibantu para pemuda kampung. Mereka ikut mengelola dan merawat barang-barang yang ada di TBM. Kalau mereka tidak bisa pas hari kerja, ya kita bukanya sore dan pas hari Minggu. Sehingga kehadiran TBM ini benar-benar bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Ah, bayangan-bayangan itu selalu muncul. Aku selalu senang membayangkan hal tersebut. Itulah resolusi menengahku, membuat TBM di kampung. Sebenarnya ada satu lagi resolusi panjangku. Target paling jauhku. Dan ini sudah kuimpi-impikan jauh-jauh hari. Entah kapan bisa terlaksana.

Itu resolusi tingkat menengah. Ada satu lagi yang menjadi resolusiku; resolusi panjang. Resolusi panjangku adalah aku memiliki sebuah kafe. Ya, kafe. Namun jangan salah sangka dulu. Kafe ini bukan sembarang kafe. Kafe ini masih ada hubungannya dengan duniaku, dunia tulis menulis. Aku ingin memiliki sebuah kafe buku. Di samping kafe itu menyediakan makanan dan minuman, kafe itu menyediakan buku-buku. Buku-buku yang terpajang di dindingnya. Dan juga ada beberapa rak buku di kiri kanan. Orang yang datang ke situ tidak saja ingin kenyang perutnya namun kenyang pula otaknya. Mereka boleh membaca di situ dan mereka juga bisa membeli buku tersebut. Bebas. Mereka akan membeli atau hanya nongkrong dan membaca buku.

Selama ini, kalau para pembeli warung atau angkringan hanya mengobrol, maka di fae ini mereka membaca. Minimal mereka mendiskusikan tentang pengetahuan. Bukan malah ngerumpi atau ghibah orang. Mereka bisa meminjam buku dan dibaca di tempat atau dibawa pulang. Buku-buku yang banyak jenisnya. Buku itu tidak hanya tulisanku, tetapi juga buku tulisan teman-temanku. Terus kadang di hari-hari tertentu, kita mengundang penulis buku atau narasumber untuk mengisi acara. Ya, acara jumpa penulis atau acara bedah buku. Pokoknya format acara tentang dunia tulis menulis. Hm, sungguh impian yang luar biasa, menurutku. Itulah tiga target dalam hidupku. Target pertama yaitu sabu-sabu (satu bulan satu buku). Target kedua, memiliki TBM dan target ketiga memiliki kafe buku. Itu saja sih, keinginanku di tahun 2018 ini.

Sekarang yang menjadi resolusi utamaku adalah sabu-sabu, satu bulan satu buku. Aku harus fokus ke sana. Untuk target yang lain, aku yakin akan mengikuti sebab ketiganya saling mendukung. Insha Allah, keinginanku bisa terwujud dan mohon doanya semoga dilancarkan. Amin.




Senin, 08 Januari 2018

SUSAHNYA MENGAJAK GURU MENULIS

   
Menulis bagi sebagian orang itu hal yang mudah. Bagi sebagian yang lain susah. Apalagi tulisan yang dibuat memakai aturan yang baku. Sebab tanpa aturan atau pedoman yang baku, hampir semua orang bisa menulis. Buktinya banyak orang begitu mudah status. Begitu mudah komen, baik dalam group WA atau dalam sosial media yang lain. Begitu mudah, lancar dan bisa berpanjang-panjang. Tetapi ketika diminta menulis dengann tema tertentu dan aturan tertentu. Mati, sunyi dan berhenti.
   Tidak banyak guru yang mau repot-repot menulis. Sedikit guru yang mau berguru kepada para ahlinya atau penulis.Pun jarang seorang guru yang rela membayar guna mendapatkan ilmu menulis. Bukan bermaksud menyudutkan atau menyalahkan guru. Namun banyak kasus guru hanya mengejar sertifikat. Tanpa sertifikat workshop atau pelatihan akan sepi peminat. Sebab memang sertifikat itu penting untuk guru, minimal digunakan dalam SKP (Sasaran Kinerja Pegawai). Di samping itu, bisa juga digunakan untuk kenaikan PAK (Penilaian Angka Kredit). Begitulah kenyataannya, mau diakui atau tidak.
    Pernah saya membuat sebuah forum atau bisa disebut event organiser (EO). Tujuan event organiser itu jelas membuat event. Namun event seperti apa? Tentu bukan event konser atau pertandingan, bukan. EO yang kubentuk itu mengadakan kegiatan tulis menulis. Sesuai namanya FPPG (Forum Peduli Profesi Guru) maka event-nya tentu kegiatan guru. Pada event yang pertama, cukup banyak peminatnya, sekitar 150 orang. Kurang lebih sebanyak itu sebab banyak teman penulis di sekolah yang ikut. Jadi teman-teman itu membuat event tersebut terlihat banyak dan ramai. Event berjalan lancar dan sukses sebab memang kontribusi yang kami minta tidak banyak. Hanya Rp50.000 rupiah dengan berbagai fasilitas, termasuk sertifikat.
    Dengan uang lima ribu rupiah mereka sudah mendapat snack, makan siang, modul, ilmu dan sertifikat. Ah, pokoknya banyak yang mereka dapat. Mungkin itu yang membuat peserta cukup banyak. Apalagi sertifikat ditanda tangani oleh kepala dinas kabupaten, lengkap sudah fasilitasnya. Mungkin kalau 'hanya' tanda tangan penyelenggara kurang prestisius. Namun tersebab ditanda-tangani kepala dinas, semakin mantaplah para peserta workshop. Oiya saat itu aku juga mengajak kerjasama dengan organisasi guru terbesar di Indonesia. Walaupun yang kuajak kerjasama hanya tingkat kabupatennya. Alhamdulillah menambah meriah pesertanya.
    Saat itu banyak faktor yang membuat sebuah workshop bisa meriah dan ramai. Salah satunya kontribusi yang murah. Mungkin kalau aku naikkan lagi menjadi Rp500.000 atau lebih bisa jadi pesertanya sedikit. Memang menulis itu butuh semangat dan dana. Saat semangat ada dan dana tidak ada, pasti akan mencari. Bagaimana caranya mengikuti workshop menulis. Berbeda dengan dana tersedia tetapi semangat tidak ada, pasti tidak ikut. Apalagi kalau sampai hitung-hitungan, nanti aku dapat apa? Rugi tidak? dan lain sebagainya. Itulah yang menghambat guru berkembang dan maju. Kalau begitu wajar dong kalau guru masih mentok di golongan itu-itu saja.
    Sebab memang untuk kenaikan jabatan diharuskan setiap guru menulis. Minimal golongan IIIb sudah diwajibkan menulis. Nah, menulis yang dimaksud dalam aturan tersebut adalah menulis dengan pedoman tertentu. Bukan menulis status atau menulis di media sosial. Sebab menulis status atau postingan lain tentu 'hanya' curahan emosi di saat itu. Bisa jadi itu tidak permanen dan hanya luapan perasaan sesaat. Namun di saat menulis hal yang serius, hal yang lebih bermanfaat bagi orang lain, ceritanya akan berbeda. Akan terasa berat, sulit dan melelahkan. Bagi banyak orang itu hal yang merepotkan, jadi untuk apa repot-repot? Begitu pikirnya.
    Lebih parah lagi, iming-iming tambahan gaji bagi golongan di atasnya kurang menggiurkan. Berapa sih tambahan gaji untuk golongan atas? Tidak banyak. Malah kalau Anda sudah golongan IV, potongan pajaknya lebih banyak. Jadi nanti akan banyak potongan di setiap kegiatan kedinasan. Itu juga menurunkan minat dan motivasi guru naik pangkat. Sudah syarat susah (harus menulis), tambahan gaji sedikit masih ada potongan pajak yang lebih besar. Lengkap sudah alasan guru untuk berkreasi, inovasi dan berkarya. Untung apa repot-repot kalau gaji yang sekarang sudah cukup. Ditambah tunjangan sertifikasi yang rutin diterima. Yang penting mengajar 24 jam per minggu, tunjangan sertifikasi lancar mengalir ke rekening. 
    Ini mungkin aib dan juga naif namun begitu kejadiannya. Anda boleh mendebat tulisan ini. Namun memang begitu fakta di lapangan. Guru terlalu nyaman dalam zonanya. Guru sudah terbiasa dengan hal-hal yang enak dan melenakan. Sehingga kerepotan sedikit (baca menulis) menjadi sesuatu yang enggan dilaksanakan. Okelah, mungkin Anda akan beralasan menyiapkan administrasi guru. Namun administrasi guru itu kan hampir sama setiap tahun. Kalau pun harus dirombak tentu tidak 100%. Hanya beberapa saja. Kegiatan yang menambah kerjaan ya, pas mau ulangan, setelah ulangan dan mengolah nilai di akhir semester. Hanya itu, selebihnya kegiatan kita adalah sebuah rutinitas. Mengajar hal yang sam. Bukan totally hal yang baru.
    Jadi menurutku, guru itu ya harus berkreasi di bidang yang lain. Sebetulnya bidang ini juga masih ranah guru. Seorang guru itu harus dinamis, wawasan luas dan berinovasi. Kenapa dinamis? Sebab memang ilmu pengetahuan itu dinamis, selalu berkembang. Bagaimana supaya bisa berkembang? Banyak membaca, banyak melihat dan banyak mendengar.Membaca akan membuka wawasan kita. Oh, ternyata cara mengajarku salah. Oh, ternyata ada penemuan baru tentang ini. Begitu seterusnya. Dengan gemar membaca wawasan guru akan luas. Semua siswa pasti gembira manakala gurunya berwawasan luas. Dan terakhir guru harus berinovasi. Kenapa?
    Dalam kegiatan belajar mengajar, tentu guru menemui banyak kendala atau masalah. Masalah media pembelajaran, masalah anak dan masalah buku. Pasti banyak masalah. Di sinilah peran guru untuk memecahkan masalah tersebut. Entah dengan caranya sendiri atau cara orang lain terus dimodifikasi sesuai keadaan sekolah. Itu tugas guru, berinovasi. Dengan inovasi tersebut, maka masalah akan terpecahkan dan pada akhirnya pembelajaran berjalan lancar dan sukses. Nah, apa yang dilakukan guru tersebut jika ditulis akan menjadi karya tulis. Sekarang pertanyaannya, mau tidak guru tersebut menulis kegiatannya?

Jumat, 05 Januari 2018

LOLOS CIPTA PUISI SE-ASEAN #2

   
    Enggak nyangka saja, bisa lolos di lingkup yang lebih luas. Walaupun untuk lomba cipta puisi ini juga sering ikut sih. Modelnya sih kirim, lupakan. Sebab terlalu banyak lomba yang aku ikuti. Malah lomba yang ini pun, tingkat Asean ini aku lupa pernah kirim. Untung ada seorang teman yang ikut lomba, melihat namaku ada diantara 100 peserta yang lolos. Namun sayang temanku itu tidak lolos. Kasihan sih. 

     "Pak, selamat ya. Puisi njenengan lolos." Begitu katanya.
     "Oiya, Pak. Aku wis lali pernah kirim ini. Makasih infonya," jawabku.
     "Sayangnya, puisiku tidak lolos," katanya lagi.
     "Ya, besok dicoba lagi, Pak," ucapku sok bijaksana. 

    Bagiku lolos itu sudah suatu anugerah sih, minimal motivasi menulis on terus. Sebab apa? Sebab selalu ada hasil, selalu ada kebaikan dan selalu ada pengumuman. Apalagi ini yang mengadakan IAIN Purwokerta, sebuah universitas di Jawa Tengah. Tersebab universitas tentu seleksinya tidak main-main. Apalagi saat aku melihat para dewan juri, beuh banyak banget. Malah ada yang berasal dari Thailand. Mau tahu puisiku seperti apa? Entar deh diakhir tulisan ini.

    Kalau kau anggap puisiku biasa saja, ya sudah berarti dewan juri pada khilaf waktu menilai puisiku. :D Namun yang aku suka dari lomba ini adalah setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu karya. Apa artinya? Artinya peserta itu dibatasi, tidak boleh ngirim banyak. Jadi puisi yang terbaiklah yang akan dikirim para peserta. Tidak semua puisi dikirimkan. Kalau seperti itu bisa jadi satu peserta mengirim 5 (lima) bahkan lebih puisi. Denger-denger yang mengirimkan ke panitia itu ribuan. Wow kan? Jadi kalau puisimu lolos, tentu ikut yang terbaik bukan? Iya, aja deh.
    
   Sebenarnya aku mempunyai banyak puisi, lebih dari 70 puisi. Kemaren rencana mau kukumpulkan. Kemudian aku kirimkan ke penerbit, ya penerbit Indie tentu saja. Kalau ke penerbit mayor, apalah aku ini dibidang puisi, belum kelasnya WS Rendra, Taufik Ismail dan penyair lain sekaliber mereka. Namun ada keinginan ke sana. Menjadi penyair handal dan diperhitungkan. Jiah. Oiya, hampir lupa. Lomba ini tidak dipungut apa-apa, alias gratis. Dan itu sangat aku favoritkan kalau ada lomba kok gratis. Kalau gratis artinya panitia sudah mempunyai stock dana dan hadiah yang cukup. Tidak perlu mencari sponsor atau menarik uang pendaftaran ke peserta.
    
    Namun sayangnya, lomba ini tidak langsung diumumkan juara 1, 2, dan 3 nya. Kita ada undangan ke IAIN Purwokerto untuk mengikuti seremonial dan launching buku tersebut. Bagus sih, namun kok jauh ya? Iya kalau menang dapat sangu pulang, kalau enggak? Eh, menang dan kalah nomor sekian ding. Lupa. Yang jelas tidak punya waktu untuk ke sana, kan jauh. Butuh empat jam perjalanan dari rumah ke tempat lomba. Akhir kata, apa pun dan siapa pun yang menang, semoga memang layak dan pantas untuk menjadi juara. Terimakasih telah meloloskan aku. 
    Betewe ini puisiku ya? 
MASA DEPAN KITA

Ayo berkumpul, berbaris dan berlapis
Mari merapat dan melompat menggapai derajat
Bersama mengurai masalah
Bersama menjawab gelisah

            Hai, kreator masa depan
            Ayo ciptakan Indonesai yang nyaman
            Setiap jiwa makin berkecukupan
            Setiap anak dapat mencercah pendidikan

Indonesia hanya butuh jiwa
Sebab orang pandai sudah berjuta-juta
Indonesia hanya butuh seni
Sehingga Indonesia indah berseri
Denganmu dahagaku sirna
Bersamamu terjawab semua tanyaku

   Bagus kan? Iya kan? Kan? Anggap saja iya. Buatlah hati ini bangga dan berseri-seri dengan menjawab iya bagus. #Maksa
    

Kamis, 04 Januari 2018

TANTANGAN PENULIS (1)

    Tantangan penulis sebenarnya banyak . Namun sekarang yang mau kita bicarakan adalah tantangan pertama tentang keluarga. Banyak penulis yang mengeluh tidak bisa menulis, tidak bisa ikut forum menulis dan tidak bisa workshop menulis gara-gara keluarga. Selalu beralasan, anaknya banyak, anaknya sering mengganggu dan tidak ada yang momong. Okelah, fix itu untuk ibu-ibu kan? Bahkan ada yang bilang jangan kan nulis, untuk buka WA saja tidak sempat. Duh.
    Kalau seperti itu serasa bahwa hidupnya habis untu ngurusi keluarga. Apa benar segawat itu? Apa iya tidak mempunyai waktu? Baiklah kita tidak perlu berdebat tentang itu. Aku mau mengisahkan tentang teman penulis. Dia seorang ibu, mempunyai anak dan suami, anaknya dua masih kecil-kecil, guru juga, apalagi ya? Oiya, dia membuka kelas menulis. Tuh, kurang sibu apa dia? Namun dia bisa membagi waktu. Bahkan dia produktif dalam menulis. Buku-bukunya hampir tiap bulan terbit. Malah naskah ada yang ngantri di penerbit. Hm, masih jadi masalah tentang keluarga.
    Tetapi mungkin keluarganya mendukung? Iya sih, keluarganya mendukung. Dan aku yakin tanpa dukungan keluarga atau pasangan kita sulit untuk melakukan itu. Sekarang aku mau tanya, sebagai pasangan, yang saling mencintai, apa iya bila salah satu pasangan mempunyai hobby atau kesenangan, pasangan lainnya tidak mendukung? Lalu kadar cinta itu sampai mana? Bukankah orang yang saling mencintai, menyayangi itu menerima dalam keadaan suka dan duka? Di saat pasangan kita menyukai sesuatu, harusnya idealnya pasangannya mendukung. 
     Mendukung itu tidak harus memberi uang, fasilitas atau apa. Cukup mendukung itu membiarkan, tidak menganggu. Kalau level di atasnya, mendukung itu mengantar ke tempat tujuan, tempat yang disukai pasangan kita. Itu mendukung. Tinggal komunikasi saja sih antara pasangan satu dengan yang lainnya. Kalau Anda seorang wanita dan suami Anda gemar memancing atau main sepakbola maka biarkan dia menekuni kegemaran tersebut. Kalau tidak bisa dan tidak suka dengan dua kegiatan tersebut, ya sudah biarkan saja. Tidak perlu dihalang-halangi. Yang penting tugas atau kewajiban seorang suami tidak ditinggalkan. Begitu pun sebaliknya.
     Perempuan boleh berkarier, perempuan boleh berkembang di luar tapi tetap kodrat wanita, tugas wanita tidak boleh diabaikan. Jadi kalau Anda wanita dan suka menulis, plis komunikasikan dengan suami. Apa agenda Anda, apa acara Anda dan apa yang akan Anda lakukan. Bila semua dikomunikasikan Insha Allah bisa berjalan dengan baik dan harmonis. Lalu bagaimana dengan anak? Apakah anak menjadi penghalang? Bila anak masih kecil, maka Anda harus mengalah dan berjuang. Menulislah di kala anak Anda sudah tidur. Apa itu bisa? Bisa banget. Tinggal tanya diri Anda sekuat apa semangat Anda. Sebab banyak orang yang KO oleh rasa kantuk, rasa capek dan rasa malas. Sehingga ya sudah di saat anak Anda tidur, Anda ikut tidur. Menulisnya kapan? Ya, kapan-kapan.
    Berbeda lagi dengan contoh berikut. Seorang ibu-ibu, dia bekerja, guru juga, mempunyai anak dan suami tetap semangatnya luar biasa. Di saat ada workshop penulisan dia selalu ikut. Biar di kata jaraknya jauh dia tempuh. Di kata alamatnya tidak jelas, dia tanya. Pokoknya dia mempunyai semangat yang membara. Dan jarak atau lokasi tidak masalah, toh sudah ada google map kan? Lagian bisa juga minta alamat kepada penyelenggara, terus cari sendiri dan tanya kanan kiri. Ah, kalau niat, nekad dan semangat pasti dapat.
    Ibu itu mempunyai anak yang masih kecil. Itu pun tidak menjadi penghalang bagi dirinya. Malah anaknya diajaknya dalam komunitas itu. Diajaknya anak tersebut dalam workshop tersebut. Jadi di saat dia upgrade tentang ilmu penulisan, dia sekalian momong anak. Hebat bukan? Di saat orang lain beralasan mempunyai anak kecil, dia sudah memecahkan masalahnya. Anak bukan penghalang. Itu malah menjadi tantangan sebesar apa niat untuk mampu menulis. Dan aku salut dengan orang-orang seperti itu.
    Mungkin saja ilmu yang diserap ibu itu tidak banyak, sebab dia membawa anak. Tetapi sedikit apa pun masih lumayan daripada di rumah. Di rumah kita tidak bisa berkembang, apalagi dalam dunia tulis menulis. Kita butuh orang lain untuk berkembang. Entah itu informasi dari teman tentang penulisan, informasi tentang penerbit dan juga informasi tentang penawaran naskah. Yang jelas tidak ada ruginya kalau berkumpul dengan orang-orang yang sehobi. Kalau suami minta pergi ke mana? Ajak saja suami dalam acara tersebut. Siapa tahu dia suka.
     Aku pernah bertanya kepada ibu itu, "Bu, suami tidak marah ibu ikut acara seperti ini?"
     Kemudian dia menjawab, "Tidak Pak. Suamiku marah kalau aku lupa pekerjaan rumah. Saat pekerjaan sebagai istri dilaksanakan, apa pun kegiatanku dia mendukung."
     Mantap. Begitulah sebuah pasangan saling take and give, saling memberi dan menerima. Saling mendukung, wong namanya cinta itu ya mencintai juga apa yang dicintai pasangan kita. Jangan malah marah-marah tidak jelas. 
    Kalau tidak suka ya sudah, yang penting jangan dihalang-halangi. Toh, tidak ada ruginya kan mengikuti acara-acara seperti itu? Menurutuku itu tantangan seorang penulis; mengatasi masalah yang paling dekat. Anak-anak dan pasangan hidupnya. Kalau kedua komponen itu tidak masalah, kok Anda belum menulis, maka yang menjadi masalah adalah Anda. Anda tidak mempunyai keinginan menjadi penulis. Anda malas dan Anda tidak mau berkembang. Itu masalah besar.