Kamis, 20 September 2018

YANG MEMBUAT BAPAK SAJA, BU

   Setelah singgah di perpusda, aku biasanya menyempatkan diri minum es kopi. Sebenarnya tidak seratus persen yang dijual kopi semua. Sebab ada juga creamer yang dibuat beberapa varian. Dan ternyata, saat memesan selalu berbeda tastenya. Hum, kenapa ini kok setiap beli selalu berbeda rasa yang kudapatkan.
    Selidik punya selidik, kokinya yang bikin beda cita rasanya. Sebagai bartender jalanan, ada yang berbeda. Baru kutahu bahwa penyaji perempuan dan laki-laki berbeda. Tangan cowok rupanya bisa membuat es kopi lebih enak. Beda dengan es kopi yang dibuat ibu penjualnya.
    Maka hari ini, aku beranikan diri untuk meminta pelayanan khusus.

"Maaf Bu, yang membuat Bapak saja," pintaku dengan perasaan deg degan.

    Bagaimana tidak gemetar sebab ibu penjual sudah mempersiapkan gelas plastik dan akan membuat es kopi. Tapi ya bagaimana lagi, bapak penjual lebih enak racikannya. Begitulah yang kurasakan. Ibu penjual mengiyakan dan memasrahkan pekerjaannya kepada suaminya. Beberapa kali aku meminta maaf atas permintaan yang aneh itu. Ya, memang jarang di Indonesia ini berani "ngarani" meminta perlakukan khusus dan di luar kebiasaan umum.
     Biarlah. Memang aku ingin mendapatkan yang terbaik dan terenak. Dan itu hanya bisa kudapatkan bila bapak penjual yang meraciknya. Mungkin ini juga yang membuat banyak laki-laki menjadi koki. Lihatlah di restoran atau hotel, pasti kebanyakan chef atau juru masaknya laki-laki.
    Kalau pun ada perempuan pasti bisa dihitung dengan jari tangan. Itu pun laki-laki lebih mendominasi. Terasa aneh enggak sih, laki-laki malah piawai memasak. Padahal di kehidupan sesungguhnya, perempuahlah koki sejati di rumah.
    Namun di dunia bisnis dan jasa pelayanan makanan, laki-laki lebih mendominasi. Seperti es kopi ini yang lebih enak saat dibuat bapak penjualnya. Hum, luar biasa.

DEMI PENAMPILAN SEORANG GURU

    Menjadi abdi negara, terutama pendidik di Bantul harus banyak yang diingat. Apa yang diingat? Salah satunya yang harus diingat adalah penampilan. Penampilan? Ya. Kalau tidak mau diketawain teman-teman dan siswa maka berpenampilanlah sesuai hari dan momennya.

Bantul memiliki aturan yang berbeda dengan negara lain, eh tempat lain. Kalau di belahan bumi lain (baca : daerah lain) baju hijau satpam tidak dipakai, bagi daerah kami tetap dipakai.

    Kami memakai baju ijo lumut itu setiap Senin. Jadi kalau Senin ngumpul untuk upacara, maka kami tampak seperti agar agar atau pudding hijau. Kadang orang menyebutnya pudding pandan wangi.
   Itu Senin. Kalau Selasa beda lagi, kita pakai baju kuning keki. Keki itu istilah saja bukan sejenis sifat sirik atau iri hati ya?  Lalu Rabu, kita memakai baju biru dongker. Ini juga istilah warna saja, bukan nama artis film; siapa itu Adipati Dongker. Bukan. Jangan salah ya?
    Selanjutnya Kamis, kami pakai baju batik. Terserah batiknya. Mau parang rusak, parang wedang atau parangtritis. Bebas. Kemudian hari Jumat, kami harus pakai baju putih dan celana hitam. Atau kalau mau, kita boleh pakai seragam olahraga. Dengan catatan; kaosnya berwarna putih. Begitulah ketentuan seragam di daerah kami.
    Eh, iya itu belum ditambah dengan hari-hari atau momen tertentu. Pas tanggal 17 tiap bulan, kami memakai baju korpri. Tanggal 20 tiap bulan, kami memakai pakaian adat dan setiap tanggal 25, kami memakai baju seragam PGRI. Hum, cukup rumit ya? Begitulah

Lah, kalau lupa?

Kalau lupa ya nasibnya sama kayak saya pagi ini, harus balik pulang dan berubah menjadi seperti di bawah ini. Untung tidak tiap hari salahnya

Jumat, 07 September 2018

MAKANAN GURU YANG MUBAZIR

     
     Setiap kegiatan entah itu workshop, diklat atau yang lain, selalu saja ada kegiatan makan snack atau makan besar. Mungkin tidak masalah ketika makanan sudah tersaji dalam dus atau tempat makan. Baik itu makanan kecil atau makanan berat. Sebab dengan terbungkus rapi seperti itu maka kita bisa membawa pulang saat makanan tersebut tidak habis. Kita bisa membawanya sebagai oleh-oleh atau diberikan orang lain. Pokoknya makanan itu bisa "diselamatkan."
     Beda kasus bila makanan dalam kegiatan edukatif itu prasmanan. Kita bisa memilih makanan apa saja. Dari makanan pembuka sampai makanan penutup, semua tersedia. Kita bisa memilih sesuka hati dan memilih yang disenangi. Namun sayangnya, banyak orang yang tidak memperhitungkan kekuatan perut. Banyak saya lihat orang mengambil semua makanan. Makanan tertumpuk penuh di sebuah piring. Bahkan hampir semua makanan dimuat dalam sebuah piring yang terbatas. Dalam bayangan saya, apa mungkin semua akan termakan habis? Mengingat semua makanan dibawa ke meja makannya. Belum minuman dan desertnya.
    Ya, Allah. Apa yang kukhawatirkan terjadi. Banyak makanan yang tidak dimakan dan tersisa sia-sia. Tidak tertuntaskan. Ada yang sudah secuil dirasakan. Ada yang masih utuh dan bertumpuk rapat dengan makanan yang lain. Semua makanan teronggok sempurna di atas piring. Lalu pertanyaannya, apakah ada yang mau mengambil atau memakannya? Tidak ada yang akan mengambil dan memakannya sebab bukankah itu makanan sisa. Meskipun kondisi makanan tersebut masih utuh. Jadi menurut saya makanan seperti itu sia-sia belaka. Makanan yang terlihat utuh tapi tetap menjadi sampah. 

Selasa, 28 Agustus 2018

GURU MITRA 1 SMP

   
    Tahun ini dapat pekerjaan baru sebagai guru mitra 1. Apa sih guru mitra 1 itu? Hum, apa ya? Ya kurang lebih guru yang saling berbagi. Guru mitra 1 berbagi pengalaman mengajar kepada guru mitra 2. Kemudian guru mitra2 mengajarkan pengalaman kepada guru mitra 3. Kita akan saling berbagi pengalaman. 
     Untuk memperlancar tugas guru mitra 1, kami diundang di Hotel Savero, Bogor Jalan Pajajaran.