Kamis, 12 Agustus 2010

UN BUTUH PENGAWAS YANG ‘AWAS’

Hajatan besar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) segera digelar.di bulan Maret 2010 ini. Di tingkat SMA/MA hajatan itu dilaksanakan tanggal 22-26 Maret 2010 dan untuk tingkat SMP/MTs akan digelar pada tanggal 29 Maret-1 April 2010. Hajatan yang berupa Ujian Nasional (UN) merupakan agenda tahunan bagi Depdiknas. Meskipun merupakan acara tahunan namun Depdiknas selalu memandang istimewa UN sehingga sarana-prasarana jauh-jauh hari mulai dipersiapkan. Dari tingkat pusat sampai daerah mulai bekerja keras demi terlaksana UN dengan baik dan lancar. Dari berbagai persiapan kelancaran UN tersebut, yang tak kalah pentingnya adalah menyiapkan para petugas yang mengawasi jalannya UN.
Disadari atau tidak, pengawas adalah salah satu komponen yang penting dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan UN. Pengawas, ibarat sebuah pisau yang dapat digunakan untuk memotong sesuatu. Melalui pengawasan pengawaslah dapat terkuak kecurangan yang dilakukan oleh peserta didik maupun panitia UN. Walaupun ada Tim Pemantau Independen (TPI), namun peran pengawas sangat signifikan dalam meminimalisir kecurangan. Mata pengawas yang “awas” (baca:jeli) akan dapat mendeteksi indikasi kecurangan yang ada. Oleh karena itu, pengawas UN perlu jeli dan waspada terhadap perilaku peserta tes (testee) yang tidak biasa seperti sering melihat ke bawah meja, membawa HP waktu tes, sering kebelakang dan lain-lain. Pengawas yang tidak jeli dapat memberikan kesempatan kepada para peserta tes maupun panitia UN sekolah untuk melakukan tindak kecurangan.
Kejelian pengawas dengan selalu melaksanakan tugas dengan baik membuat para peserta tes akan dapat bekerja mandiri dan percaya diri, di samping panitia UN sekolah segan terhadapnya. Namun bagaimanapun, pengawas juga jangan terlalu kaku dan pasang wajah angker yang akan membuat para peserta didik tidak simpatik dan jengkel. Alangkah baiknya, jika para pengawas tetap berwajah bersahabat dan kooperatif tanpa melupakan tugas pokoknya yaitu pengawasan.
Kejelian para pengawas juga telah berperan dalam penentuan tingkat kejujuran sebuah kota. Kita patut bersyukur bahwa kota Yogyakarta termasuk daerah hijau dalam pelaksanaan UN. Itu artinya kejujuran UN di kota Yogyakarta sangat tinggi. Kejujuran dalam melaksanakan UN akan berkorelasi dengan hasil UN para peserta tes, sehingga hasil tes dapat dikatakan accountable. Berbeda dengan daerah lain yang menjadi zona merah yaitu daerah dengan tingkat kejujuran pelaksanaan UN yang rendah. Kalau tingkat kejujuran UN rendah, apakah kita dapat yakin bahwa nilai yang didapat para peserta tes itu murni hasil berpikirnya?
Seperti tahun-tahun sebelumnya, UN diawasi oleh para guru non-mata pelajaran yang di UN-kan. Hal ini sangat baik sebab guru non-UN sebagai pengawas, tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk membantu para peserta tes dalam menjawab soal-soal tes walaupun dia mempunyai niat. Bayangkan kalau yang mengawasi guru mata pelajaran Ujian Nasional (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA), tentu ada potensi guru tersebut untuk membantu peserta didik sebab guru mata pelajaran UN mempunyai kemampuan untuk melakukan hal itu jika ia mempunyai niat. Penulis berharap bahwa para pengawas dapat melaksanakan tugasnya dengan idealisme yang tinggi yaitu mensukseskan UN tahun 2010 ini. Idealisme yang tinggi dan kejelian para pengawas akan meredam berbagai kecurangan UN yang semakin inovatif dan variatif saja. Oleh karena itu, di pundak para pengawas yang ‘awas’, kita dapat berharap bahwa zona hijau UN akan semakin banyak di Indonesia sehingga kita dapat berbangga dengan hasil nilai UN anak-anak kita

GURU PEMIMPI

Para siswa berhamburan, ketika saya datang pagi itu. Mereka berebut bersalaman dan mencium tangan saya. Ada juga yang berinisiatif membawakan tas saya. “Sekarang jam pertama, pelajaran apa?” saya bertanya kepada salah satu siswa. “ Sak meniko, pelajaran boso Jawi, pak”, jawabnya dengan bahasa Jawa yang sangat halus. Ternyata, para siswa masih fasih berbahasa Jawa, pikir saya.
Sampai di ruang guru, saya melihat tas saya sudah ditaruh dengan baik. Segera saya mempersiapkan buku dan perangkat pembelajaran untuk mengawali pelajaran. “Yah…yah bangun, sudah pagi!”, kata istriku sambil mencoba membangunkan. Oh …rupanya aku tadi bermimpi. Betapa menyejukkan mimpiku itu. Para siswa begitu sopan dan mempunyai unggah-ungguh terhadap bapak-ibu guru mereka. Di samping itu, mereka masih bisa berbahasa daerah yang baik, sehingga anak Jawa tidak kehilangan Jawanya. Tidak berlebihan bila suatu saat kita tidak mengantisipasinya maka bahasa Jawa menjadi punah dan hanya menjadi catatan sejarah seperti bahasa Sansekerta.
Sekarang ini, banyak anak yang lupa dengan bahasa Jawa yang halus dan mereka juga lupa dengan tata-krama, khususnya terhadap orang yang lebih tua. Malah, kadang mereka tidak sopan dengan bapak-ibu guru dan berbicara seperti dengan temannya sendiri. Siapa yang salah ini, kita sebagai guru atau kita sebagai orang tua? Ataukah karena bahasa Jawa, PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), Pendidikan Agama dan Bimbingan Konseling hanya 2 jam pelajaran/minggu, sehingga bapak ibu guru berkurang waktunya untuk bertatap muka dan memantau perkembangan siswa? Sedangkan mata pelajaran bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Indonesia, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) diberi 5 jam pelajaran/minggu, yang membuat para siswa lebih mampu dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan keempat mata pelajaran tersebut.
“Pak, ini sekedar untuk bapak”, kata salah satu orang tua siswa. “Matur nuwun sanget nggih pak, awit saking bimbingan bapak, lare kulo miturut dumateng tiyang sepuhipun lan taat ngibadahipun” kata bapak itu dengan bahasa Jawa yang halus. Pantas anak-anak pintar bahasa Jawa halus sebab orang tuanya juga dapat menggunakan bahasa Jawa dengan baik. “ Lho, bapak tidak bangga kalau anak bapak juara kelas?” tanya saya penasaran. “Pak, juara atau tidak, tidak penting bagi saya, saya hanya mengharapkan anak saya dapat berbakti kepada orang tua dan bertaqwa kepada Tuhan yang Esa”, jawabnya percaya diri. “ Saya, orang tidak punya pak, juara kan hanya soal nilai, nilai hanya bersifat kepintaran otak pak, namun yang lebih penting budi pekerti dan agama yang baik, pak” bapak tadi melanjutkan perkataannya. Benar juga bapak ini, penelitian telah membuktikan bahwa kecerdasaan otak hanya menyumbang 10% terhadap kesuksesan seseorang.
Di jaman modern ini masih ada orang yang tidak mementingkan kemampuan kognitif anaknya. Dia lebih mengharapkan anaknya mempunyai kemampuan afektif yang berhubungan dengan kecerdasaan spiritual dan kecerdasan emosional. Seandainya, semua orang tua seperti bapak itu, pasti ujian bukanlah momok yang menakutkan. Kadang ketakutan itu menyebabkan seseorang rela berbuat apa saja demi sebuah angka, sehingga tujuan utama dilakukan ujian tidak relevan lagi. Pada hakekatnya, fungsi pendidikan membentuk peserta didik kearah tujuan pendidikan yang tidak boleh hanya mengutamakan prestasinya, tetapi harus mengutamakan kebutuhan pembentukan kepribadiannya sebagai individu yang nyata.
“Yah, bangun yah!’, kata istriku. “ Katanya hari ini upacara” katanya lagi. O..iya ini tanggal 1 Suro, upacara hari bahasa Jawa. Upacara yang unik, semua serba bahasa Jawa, para guru menggunakan pakaian Jawa dan semua protokoler juga menggunakan bahasa Jawa. Semua demi pelestarian nilai-nilai budaya Jawa termasuk bahasa Jawa dan budi pekerti Jawa. “ Ayo…bangun, mimpi terus”, kata istriku lagi. Tapi bukankah sejarah mencatat semua hal yang hebat, dimulai dari sebuah mimpi yang dapat menjadi kenyataan. Leres nggih?