Kamis, 12 Agustus 2010

GURU PEMIMPI

Para siswa berhamburan, ketika saya datang pagi itu. Mereka berebut bersalaman dan mencium tangan saya. Ada juga yang berinisiatif membawakan tas saya. “Sekarang jam pertama, pelajaran apa?” saya bertanya kepada salah satu siswa. “ Sak meniko, pelajaran boso Jawi, pak”, jawabnya dengan bahasa Jawa yang sangat halus. Ternyata, para siswa masih fasih berbahasa Jawa, pikir saya.
Sampai di ruang guru, saya melihat tas saya sudah ditaruh dengan baik. Segera saya mempersiapkan buku dan perangkat pembelajaran untuk mengawali pelajaran. “Yah…yah bangun, sudah pagi!”, kata istriku sambil mencoba membangunkan. Oh …rupanya aku tadi bermimpi. Betapa menyejukkan mimpiku itu. Para siswa begitu sopan dan mempunyai unggah-ungguh terhadap bapak-ibu guru mereka. Di samping itu, mereka masih bisa berbahasa daerah yang baik, sehingga anak Jawa tidak kehilangan Jawanya. Tidak berlebihan bila suatu saat kita tidak mengantisipasinya maka bahasa Jawa menjadi punah dan hanya menjadi catatan sejarah seperti bahasa Sansekerta.
Sekarang ini, banyak anak yang lupa dengan bahasa Jawa yang halus dan mereka juga lupa dengan tata-krama, khususnya terhadap orang yang lebih tua. Malah, kadang mereka tidak sopan dengan bapak-ibu guru dan berbicara seperti dengan temannya sendiri. Siapa yang salah ini, kita sebagai guru atau kita sebagai orang tua? Ataukah karena bahasa Jawa, PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), Pendidikan Agama dan Bimbingan Konseling hanya 2 jam pelajaran/minggu, sehingga bapak ibu guru berkurang waktunya untuk bertatap muka dan memantau perkembangan siswa? Sedangkan mata pelajaran bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Indonesia, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) diberi 5 jam pelajaran/minggu, yang membuat para siswa lebih mampu dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan keempat mata pelajaran tersebut.
“Pak, ini sekedar untuk bapak”, kata salah satu orang tua siswa. “Matur nuwun sanget nggih pak, awit saking bimbingan bapak, lare kulo miturut dumateng tiyang sepuhipun lan taat ngibadahipun” kata bapak itu dengan bahasa Jawa yang halus. Pantas anak-anak pintar bahasa Jawa halus sebab orang tuanya juga dapat menggunakan bahasa Jawa dengan baik. “ Lho, bapak tidak bangga kalau anak bapak juara kelas?” tanya saya penasaran. “Pak, juara atau tidak, tidak penting bagi saya, saya hanya mengharapkan anak saya dapat berbakti kepada orang tua dan bertaqwa kepada Tuhan yang Esa”, jawabnya percaya diri. “ Saya, orang tidak punya pak, juara kan hanya soal nilai, nilai hanya bersifat kepintaran otak pak, namun yang lebih penting budi pekerti dan agama yang baik, pak” bapak tadi melanjutkan perkataannya. Benar juga bapak ini, penelitian telah membuktikan bahwa kecerdasaan otak hanya menyumbang 10% terhadap kesuksesan seseorang.
Di jaman modern ini masih ada orang yang tidak mementingkan kemampuan kognitif anaknya. Dia lebih mengharapkan anaknya mempunyai kemampuan afektif yang berhubungan dengan kecerdasaan spiritual dan kecerdasan emosional. Seandainya, semua orang tua seperti bapak itu, pasti ujian bukanlah momok yang menakutkan. Kadang ketakutan itu menyebabkan seseorang rela berbuat apa saja demi sebuah angka, sehingga tujuan utama dilakukan ujian tidak relevan lagi. Pada hakekatnya, fungsi pendidikan membentuk peserta didik kearah tujuan pendidikan yang tidak boleh hanya mengutamakan prestasinya, tetapi harus mengutamakan kebutuhan pembentukan kepribadiannya sebagai individu yang nyata.
“Yah, bangun yah!’, kata istriku. “ Katanya hari ini upacara” katanya lagi. O..iya ini tanggal 1 Suro, upacara hari bahasa Jawa. Upacara yang unik, semua serba bahasa Jawa, para guru menggunakan pakaian Jawa dan semua protokoler juga menggunakan bahasa Jawa. Semua demi pelestarian nilai-nilai budaya Jawa termasuk bahasa Jawa dan budi pekerti Jawa. “ Ayo…bangun, mimpi terus”, kata istriku lagi. Tapi bukankah sejarah mencatat semua hal yang hebat, dimulai dari sebuah mimpi yang dapat menjadi kenyataan. Leres nggih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar yang membangun sangat berguna tidak hanya bisa mencaci tetapi berikan juga solusi