Sabtu, 29 Desember 2018

Guru Idola

     Setelah tidak berhasil datang ke workshop, aku (kembali) datang ke bank. Penasaran saja, kenapa nasabah kok padat merayap.
Setelah memarkir sepeda motor, aku menuju pintu bank.
    Dengan sigap mbak satpam membukakan pintu. Meskipun ini bukan yang pertama tapi kalau yang membuka pintu, embak embak kok tambah Mak nyes. Eh, bukan ding itu ternyata efek AC bank. 
Mbak sekuriti tersenyum manis, aku pun membalas.
     "Mau ke mana, teller atau customer service?" tanyanya ramah.
     "Ke Teller, Mbak."
   Mbak sekuriti pun memijit mesin antrian. Teeeet. Keluarlah selembar kertas antrian. Nomor 132. Hum, cukup banyak. Dan ternyata hidupku tidak bisa jauh jauh dari angka 13. Kalau kemarin angka 134 sekarang angka 132. Jian,
Dia mengangsurkan nomor antrian.
Kuterima sambil mengucapkan banyak terimakasih. Kemudian aku membawa nomor itu sambil mencari tempat duduk. Mata kuedarkan dan tertumbuk kepada sosok ibu ibu.
Wajahnya begitu akrab. Dengan kacamata putih, seperti dulu. 10 tahun yang lalu. Oiya, aku baru ingat kalau beliau adalah guru SMA ku.
   Raut mukanya masih sama. Bersih. Masih cantik. Sedikit sekali goresan penuaan di wajahnya. Masih menawan. Masih ngangenin. Eh, enggak ding.
    Dulu beliau mengajar mapel IPS Sejarah. Beliaulah yang mengajarkan tentang sejarah dan masa lalu. Jadi kalau orang lain melupakan masa lalu tapi beliau malah nyuruh mengingat. Itulah mengapa kami, para siswanya sulit untuk move on. 

Minggu, 23 Desember 2018

Pelatihan Kok Bayar?

Ada aja sih orang yang menganggap pelatihan itu tidak perlu bayar. Bahkan dia akan sangat eman eman mengeluarkan uang untuk itu. Padahal nih ya kalau bayar itu kan lebih greget.
Coba bayangkan kalau kita bayar maka kita akan merasa sayang bila kegiatan itu kita sia siakan.

Kebalikannya, kalau tidak bayar, kita akan mendengarkan pemateri dengan santai sebab tidak bayar. Saat mempraktekkannya pun juga santai, kan tidak bayar. Terus akhir sesi, merasa tidak ada tuntutan apa apa, wong tidak bayar.

Jadi kadang saya suka heran, ketika ada orang atau siapa pun woro woro tentang pelatihan atau workshop, terus orang berbondong bondong ingin ikut. Namun ketika penyelenggara menuliskan membayar sekian ratus atau sekian juta jadi mikir. Jadi gamang. Ikut enggak, ikut enggak sampai ganti tahun.

Ada keraguan dan mungkin juga sayang untuk mengeluarkan biaya. Aku jadi geli sendiri.
Padahal kalau kita mau berpikir terbalik. Dari bayar pelatihan tersebut, kita jadi termotivasi, ini harus jadi. Syukur syukur ada sesuatu yang dihasilkan setelah pelatihan, pokoknya semacam dendam deh.

Kan sudah bayar, sayang kan kalau disia-siakan. Nah harusnya gitu.

Lagian kalau untuk beli lainnya saja tidak sayang. Masak untuk nutrisi otak masih mikir mikir. Namun ya tetap harus piroritas, jangan mentang mentang suka ilmu dan gampang punya duit terus semua diikuti. Entar jadinya tidak fokus dan malah pikirannya bercabang cabang. Kayak selingkuh gitu. #ups

Lalu pertanyaan selanjutnya, apa aku pernah ikut pelatihan yang berbayar? Eits, ya pernah dong. Sering malah. Enggak kapok? Enggak. Meskipun kadang tidak sesuai harapan kita. Yups. Kadang ikut pelatihan namun belum dapat berbuat sesuatu sesuai pelatihan tersebut.
Namun tak apa. Aku yakin kalau pertama misalnya tidak sesuai dengan tujuan kita, itu tetap saja bermanfaat bagi kita suatu saat nanti.

Mungkin secara langsung atau tidak langsung hal itu tetap bermanfaat. Yang penting kita serius, yakin deh pasti bermanfaat.

Karena jamaknya, bila tidak bayar kita sering meremehkan baik materinya maupun pembicaranya. Biasa begitu. Tapi kalau berbayar, kita biasanya lebih serius. Eh, tapi ini tergantung orangnya ding.

Nah, kalau kamu masih suka yang tidak berbayar, ya enggak papa juga sih.

Namun saranku kalau mau gratis tis tis dan dapat ilmu, ya ikut lomba saja. Kalau ikut lomba kan, biarpun tidak menang kan dapat ilmu gratis plus piknik. Halan halan.

Kamis, 13 Desember 2018

PERKAWINAN YANG IDEAL

    Tadi malam dapqt undangan menghadiri resepsi pernikahan seorang guru TK. Dia adalah guru TK anakku. Berbeda dengan resepsi pernikahan yang sudah sudah, pernikahan ini tampak berbeda.
Dari mulai undangan yang jelas tertulis 
"Tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun."
   Itu artinya apa? Artinya bahwa mereka (para pengantin) tidak menerima, baik itu kado maupun amplop. So, jarang sekali kan ada pernikahan seperti itu. Memang selayaknya begitu. Namanya juga pesta, pesta perkawinan ya idealnya syukuran, bukan cari pengembalian atau cari modal. Ups.
   Ya kalau namanya syukuran itu ya siap kehilangan uang. Siap tombok dan bermodal besar. Kalau para tamu masih memasukkan amplop atau bingkisan sekilas terkesan kita pergi ke warung. Bedanya kalau ke warung kita bayar belakangan tapi kalau resepsi kita bayar di depan. Iya benar dulu ada analoginya begitu.
Nah, setelah ada resepsi pernikahan ini analogi miring itu terbantahkan.
    Tidak banyak orang yang sanggup menjalanan pesta perkawinan tanpa bingkisan dan amplop. Bahkan masih banyak juga orang yang benar benar kaya. Namun masih menerima sumbangan. Serius. Entahlah alasannya apa.
     Aku yakin sih, bahwa orang melakukan itu (resepsi tanpa sumbangan) bukan karena dia kaya atau sudah cukup, tapi memang sudah ikhlas berbagi. Tidak takut rugi. Sehingga tidak mengharapkan sumbangan orang lain lagi. Dia hanya memberi dan bersyukur telah resmi menjadi suami istri.
Jadi siapa yang sesungguhnya orang kaya?
   Tapi itu sih masalah pribadi, suka suka yang mau mengadakan resepsi dan pernikahan. Kalau memang sudah bisa berbagi ya berbagi saja tidak perlu mengharapkan sumbangan orang lain.
   Namun ada juga yang nekad, sudah tertulis tidak menrima sumbangan, masih saja dipaksa untuk menerima. Katanya itu tanda kasih sayang. Ya, ampun. Kalau kasih sayang mbok dipeluk atau dicium saja temantennya. #eaa Bagaimanapun ini termasuk pola perkawinan yang unik, menarik dan inovatif. Perkawinan tanpa sumbangan perlu dicontoh.
Itu perkawinannya. 

   Ada juga lho model undangan perkawinan yang unik, menarik dan nyentrik. Iya, pernah ada pengantwn yang mengirmkan undangan perkawinan menggunakan google drive. Jadi link atau alamat google drive tersebut dikirm ke WA atau e-mail tamu yang diundang. Unik kan?
   Ini berbeda dengan undangan kebayakan yang masih memakai kertas tebal. Undangan tebal yang dicetak lalu disebar, tak lama kemudian dibuang dan menjadi sampah.
   Itu kalau tidak menukil ayat ayat suci Al- quran tak masalah. Tapi kalau ada tulisan ayat atau surat dalam bahasa Arab tentu tidak boleh dibuang sembarangan. Tulisan suci itu tidak boleh sembarang ditruh atau dibuang.
Nah, kalau pakai file kan lebih aman, paperless dan efesien.
   Biar pun begitu, aku masih setuju bila perkawinan mengundang banyak tamu. Kenapa? Karena menghindari syuudzon. Orang kalau dikumpulkan dan diberitahu si fulan sudah menikah dengan si A, maka terhindarlah mereka dari fitnah.
  Lagian mengumpulkan teman dan berbagi rezeki kepada orang lain tentu mendapat banyak pahala kan?
  So, siapa yang akan mengundangku lagi dengan tulisan "Tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun"

Rabu, 12 Desember 2018

RAPOT YANG BIKIN REPOT

     Hari hari ini banyak orang yang berkutat dengan angka-angka. Bahkan status yang dibuat banyak orang pun penuh dengan keluhan rapotnya menulis rapot.
       Apakah demikian susah membuat nilai rapot?
     Kalau pertanyaan itu ditanyakan kepadaku ya jelas susah dan ribet plus ting plenyit. Banyak item atau isian yang harus diisi. Itu masih mending kalau gurunya muda, energik dan cantik. Eh, kalau cantik apa yang hubungannya ya? 
     Ah, yang penting kalau guru melek IT dan sehat, tentu menulis rapot tidak seribet yang diperkirakan. Dengan catatan, dia rajin menilai setiap ada kesempatan. Jadi jangan penilaian menumpuk di akhir semester.
Itu kalau dirinya sendiri hanya guru mapel saja. Lah, kalau wali kelas?
    Nah, ini yang agak repot sebab wali kelas itu berhubungan dengan banyak orang. Ya dengan rekan guru, ya dengan wali siswa. Kalau jadi wali kelas dan rekan guru yang lain tidak trengginas dan tidak cak cek ya sudah rapot bisa molor dan terlunta lunta, enggak jelas.
    Tapi kalau semua rekan guru siap dan sigap, tentu pengisian nilai rapot tidak akan seheboh momen momen saat ini. Oiya, lupa Ding. Di samping pengisian rapot perlu kerjasama satu sekolah, juga diperlukan waktu yang banyak bagi wali kelas. Sebab wali kelas harus mengeprint berlembar-lembar raport.
     Kalau guru mapel hanya mencetak 4-8 lembar maka kalau wali kelas harus mencetak 13. Itu belum dikalikan jumlah siswa dalam satu kelas. Bisa kebayang kan berapa rim kertas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan itu semua. Enak sih kalau guru kelas menengah dan akhir tidak banyak ngeprint. Lha, kalau guru kelas awal tentu harus input data siswa yang berjibun. Maka perlu ketelitian dan kehati-hatian dalam mengisi rapot.
    Sebab hilang atau kurang aware maka bisa jadi nanti diprotes wali siswa. Banyak lho wali siswa yang pintar, apalagi bila wali siswa itu seorang guru tentu sangat paham dengan kriteria penilaian dan rumus kompetensinya.
Jadi memang hari hari ini sangat melelahkan bagi semua guru k13.
     Dan bila pimpinan atau pejabat di atas belum pernah mengisi rapot maka dia tidak akan paham bagaimana ruwetnya mengisi rapot tersebut. Lalu apakah penilaian yang rumit dan sulit itu akan diperhatikan orangtua siswa? Entahlah. Jangan jangan orangtua siswa hanya memperhatikan nilai akhir, bukan per poin atau bukan per KD-nya. Hanya nilai global saja.
Kalau seperti itu, masih perlukah penilaian yang jlimet bin rumit itu? Entahlah.