Banyak siswa kita yang merasa tertekan, kalau tidak dibilang stess menghadapi Ujian Nasional. Biarpun sekarang UN bukan lagi penentu kelulusan tetapi tetap saja menjadi momok karena dari hasil Ujian Nasional itulah para siswa dapat memilih dan menentukan mau sekolah atau kuliah dimana. Jika nilai UN yang diperoleh bagus maka otomatis dia bisa sekolah yang dicita - citakan. Tetapi jika nilai UN tidak bagus, maka musnah sudah harapan hidupnya. Bahkan ada yang bunuh diri karena tidak siap menghadapi kenyataan. Seakan hidupnya tergantung dari ini UN.
UN tetap menjadi momok, tetap menjadi algojo pencabut masa depan walaupun bukan menjadi tolok ukur kesuksesan namun itu merupakan suatu kebanggan bersama jika nilai UN tinggi. Lihat saja euforia para siswa dari SMP dan SMA, malah ada juga di dunia maya itu anak SD melakukan selebrasi setelah mengikuti USBN dengan mencorat coret bajunya. Siapa yang mereka tiru? Pasti kakak - kakak kelasnya. Setelah mereka dapat melewati UN dan mengetahui hasilnya, mereka tidak perduli apakah nanti dapat diterima di sekolah atau universitas yang diinginkan. Yang penting hari ini plong, gembira karena satu tugas telah selesai, satu kewajiban telah dijalankan, satu beban telah diturunkan, itu yang ada dipikiran para siswa kita. Kalau untuk besok, maka dipikirkan besok saja. Begitulah, tingkat tekanan yang dihadapi para siswa kita. Mereka tidak memandang bahwa pintar iti wajib, belajar itu harus, nilai hanya salah satu indikator kita bahwa kita telah belajar. Poinnya bukan nilai UN, intinya bukan hasil UN tetapi mereka perlu melewati proses yang panjang, proses yang baik, jujur dan bertanggung jawab. Sebab apa? Sebab ujian sebenarnya adalah ketika mereka nanti hidup dalam masyarakat dan mengalami berbagai ujian hidup dan mereka dapat survive karena mereka telah belajar di sekolah. Jadi UN adalah salah satu ujian hidup, ujian hidup lebih komplek dan kelasnya lebih tinggi dibandingkan UN. Anda setuju?